Putu Setia
Presiden Joko Widodo masih rada canggung. Ia terkaget-kaget oleh sambutan para relawan setelah dilantik, kaget dengan protokoler bergaya militer, lalu kaget dengan pertanyaan wartawan yang saling berebut. Akhirnya kaget sendiri dengan reaksi yang dia ucapkan.
Itu kesimpulan Romo Imam. "Misalnya, Jokowi yang berulang-ulang menyebut kata 'secepatnya' ketika ditanya kapan kabinet diumumkan. Jokowi bukan orang bodoh. Dia tahu aturan, batas waktu penyusunan kabinet 14 hari kerja. Kalau ia bisa mengumumkan seminggu setelah dilantik sebagai presiden, bukankah itu lebih cepat?" kata Romo.
"Bagaimana dengan pembatalan di Tanjung Priok itu?" tanya saya. Romo menjawab: "Itu kan ceplas-ceplos orang Solo. Dia sebut tempat yang pernah membawanya sukses. Tanah Abang. Waduk Pluit, lalu Tanjung Priok sebagai pelabuhan yang jadi ujung tombak tol lautnya. Ia keceplosan, mungkin lupa sudah jadi presiden. Yang mendengar langsung antisipasi karena terbiasa 'sabdo pandito ratu', ucapan seorang presiden pasti serius. Maka dibuatlah panggung dan Paspampres pun siaga. Padahal Jokowi kemudian bilang sama wartawan: siapa suruh kumpul di sana, tak ada rencana pengumuman."
"Artinya apa Romo?" tanya saya. "Jaka Sembung jadi gigolo, tidak nyambung begitu lo...." Saya suka Romo sudah mulai bercanda. Ia melanjutkan: "Lama-lama akan terbiasa, ceplas-ceplos Jokowi akan dipahami orang, termasuk wartawan, staf kepresidenan maupun Paspampres. Besok bagi Jokowi yang orang Jawa tidak berarti Selasa kalau dia mengucapkan kata itu pada Senin. Makanya ada istilah esuk-esuk wong Jowo. Jokowi bilang secepatnya, bisa siang, sore, atau besok, jangan diartikan waktu yang pasti."
"Wah, susah dong. Kalau begitu, tak ada kepastian," kata saya. Romo tertawa: "Sudah saya bilang, lama-lama terbiasa. Puluhan tahun kita berada dalam situasi yang sangat formal, sekarang coba gaya lain. Istana tak lagi angker, orang bisa masuk lebih bebas, mungkin hantu yang biasa ngerumpi di Istana Negara dan Istana Merdeka juga sudah kabur."
Saya melongo: "Tapi, Jokowi akhirnya pasti sadar pula bahwa ia sudah jadi presiden," kata Romo lagi. "Ia pasti menyesuaikan diri karena terbukti dari ucapan ceplas-ceplosnya itu banyak yang kecewa. Juga banyak yang rugi. Bayangkan berapa biaya menghabiskan panggung di Tanjung Priok, berapa kapal yang tak bisa merapat, betapa susah wartawan menembus Jakarta yang macet untuk ke sana, belum lagi lapar dan haus. Eh, tiba-tiba dengan enteng Jokowi berkata: lo siapa yang menyuruh ke sana?"
"Pada akhirnya aturan formal juga yang berlaku. Jokowi menunggu surat rekomendasi dari DPR karena melakukan perubahan nama kementerian. Jokowi juga menunggu hasil penelitian KPK terhadap calon menteri yang disusulkannya. Semuanya dalam koridor ke hati-hatian."
Saya memotong: "Juru bicara presiden harus ditunjuk agar ada informasi formal. Gaya bicara Jokowi lebih cocok ke rakyat ketimbang diliput wartawan dalam forum resmi kenegaraan."
Romo menimpali: "Setuju, karena komunikasi Jokowi dengan wartawan yang banyak canda itu lama-lama tidak sehat. Ada saatnya dialog formal sehingga yang muncul kesantunan yang bisa jadi teladan untuk penonton televisi dari berbagai latar budaya. Tak semua orang suka ceplas-ceplos, tapi juga tak semua orang suka formal kaku. Ada kalanya berbaju batik, ada waktunya mengenakan jas, tak setiap saat berbaju putih lengan digulung. Gaya presiden punya pengaruh besar dalam kehidupan bangsa." Saya mengangguk, tapi Jokowi konon enggan mengangkat juru bicara.