Dewan Perwakilan Rakyat sebaiknya menolak usul pemerintah mengenai ambang batas perolehan suara partai politik untuk pencalonan presiden. Syarat yang dimasukkan dalam revisi UndangUndang Pemilihan Umum Presiden ini kurang demokratis dan akan memangkas peluang banyak calon pemimpin potensial.
Syarat yang diusulkan pemerintah itu menyebabkan hanya sekitar empat calon presiden yang bisa berlaga dalam Pemilu 2019 nanti seperti pada pemilu sebelumnya. Sebab, pemerintah menyodorkan ketentuan: partai atau gabungan partai harus memperoleh minimal 20 kursi di parlemen atau 25 persen suara secara nasional. Aturan main ini jelas menyulitkan partai kecil untuk mengajukan calon presiden.
Pemerintah terkesan memanfaatkan putusan Mahkamah Konstitusi yang abuabu mengenai ambang batas perolehan suara partai untuk pencalonan presiden atau presidential threshold. Hakim konstitusi telah menghapus sejumlah pasal dalam UndangUndang tentang Pemilihan Presiden pada 2013, sehingga pemilihan anggota parlemen dan presiden harus dilaksanakan serentak. Putusan ini ditafsirkan menghilangkan aturan presidential threshold. Tapi pemerintah bersikap sebaliknya.
Dalam putusan No. 14 / PUUXI /2013, hakim konstitusi hanya menghapus ketentuan mengenai pelaksanaan pemilu presiden yang digelar setelah pemilu legislatif. Adapun aturan presidential threshold seperti diatur dalam Pasal 9 UU Pemilihan Presiden tidak dihapus. Padahal pemohon juga meminta agar pasal itu dihilangkan dengan alasan tidak konstitusional. Dengan dalih ini, pemerintah beranggapan presidential threshold tetap bisa diatur.
Partaipartai yang menginginkan penghapusan ambang batas atau presidential threshold nol persen berargumen sebaliknya. Dengan diadakannya pemilihan umum serentak, aturan itu tidak mungkin dilaksanakan. Soalnya, saat pencalonan presiden, belum diketahui perolehan suara partai politik dalam pemilu legislatif. Jika patokan yang dipakai adalah hasil pemilu legislatif sebelumnya, sungguh tidak fair.
Suara penolak presidential threshold itu perlu didengarkan. Mungkin benar, pemilihan dengan banyak calon presiden akan merepotkan dan jauh lebih mahal ketimbang jika diikuti tiga atau empat calon saja. Tapi, bukankah hal itu jauh lebih demokratis dan membuka peluang bagi masyarakat untuk mendapatkan lebih banyak pilihan?
Lagi pula kita sudah beberapa kali menggelar pemilihan presiden dan wakil dalam dua putaran. Pemerintah bisa saja membuat dua putaran pemilihan: yang pertama dibuat sesederhana dan semurah mungkin untuk menjaring dua atau tiga calon ke putaran kedua.
Di banyak negara lain, sistem ambang batas biasanya hanya dipakai dalam pemilihan anggota parlemendikenal dengan istilah parliamentary threshold. Jangan sampai revisi UU Pemilu Presiden dipaksakan hanya untuk mengakomodasi keinginan satudua partai besar yang hendak terus menguasai pencalonan presiden.