Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Westphalia

Oleh

image-gnews
Iklan

Imagine, there is no country.

Kadang-kadang orang sebal dengan batas. Saya kira rata-rata orang Indonesia yang masuk ke negeri lain merasakan bahwa tiap meja imigrasi dipasang dengan kandungan syak wasangka. Petugasnya akan dengan tanpa senyum menatap kita, seakan-akan ingin menebak sesuatu dari bentuk hidung dan kuping kita. Ia biasanya akan menghela napas, membetulkan letak kacamatanya, dan seperti mau menyatakan: Anda saya silakan masuk ke negeri kami, tapi sebenarnya Anda bisa merepotkan kami.

Kita sebal, tapi kita akan tetap mematuhi prosedur: paspor kita akan kita serahkan, dan paspor Republik Indonesia itu akan ditelaah semenit dua menit, dan visa akan diperiksa, lalu akan ada sedikit tanya-jawab yang umumnya tak ada gunanya, lalu dok-dok-dok, stempel diterakan. Kita boleh lewat. Setelah itu: pemeriksaan duane.

Negeri diberi batas oleh sejarah politik. Batas itu umumnya disambut baik karena ada yang didapat: kedaulatan. "Kedaulatan" itu agaknya kata yang ampuh. Pengertiannya, seperti yang dipahami dan dipraktekkan hari ini di seluruh dunia, sebenarnya tidak dari kitab suci mana pun. Tapi ia punya mithosnya sendiri.

Dalam mithos yang umum diucapkan orang, pengertian itu bermula dari sejarah Eropa yang bergelimang darah di abad ke-17. Setelah Perang 30 Tahun yang menewaskan 7,5 juta manusia itu, ketika para penguasa Protestan dan Katolik selama tiga dasawarsa saling mengerahkan pasukan untuk menghabisi satu sama lain, sebuah perjanjian perdamaian pun berlangsung di Westphalia, sebuah wilayah Jerman di barat laut.

Ini perundingan yang tak mudah. Perlu waktu empat tahun untuk mencapai hasil. Mewakili 194 kekuasaan yang bertempur, ribuan duta besar, diplomat, staf, sekretaris, dan pelbagai macam petugas ditempatkan pada tahun 1644-1648 di Westphalia. Acara pertama-enam bulan lamanya-membahas protokol: siapa duduk di mana, siapa yang masuk lebih dulu ke ruangan dan setelah siapa. Salah satu hasilnya: utusan Prancis dan Spanyol selama empat tahun itu tak pernah bertemu karena aturan protokolernya tak memungkinkan.

Akhirnya, upacara penandatanganan kesepakatan disetujui (perlu tiga minggu untuk itu), dan Perjanjian Damai Westphalia diteken. Pukul dua siang, Sabtu, 24 Oktober 1648.

Salah satu keputusan: Swiss memperoleh "kedaulatan".

Tapi tak berarti "kedaulatan" itu sama artinya dengan pengertian yang berlaku sekarang. Seorang sejarawan, Andreas Osiander, menunjukkan bahwa kata yang dalam bahasa Inggris disebut sovereignty itu sebenarnya tak sangat dikenal di masa itu, juga dalam teks Latin dokumen resmi. "Tak seorang pun waktu itu menggubris 'kedaulatan' sebagai sebuah konsep." Kata itu tak tampak dalam komunikasi diplomatik ataupun dalam pamflet-pamflet yang mengiringi alasan perang. Perang 30 Tahun bukan perang mempertahankan kedaulatan sebuah bangsa di sebuah wilayah-berbeda dengan perang di dunia di abad ke-20-melainkan lebih berupa perang memperjuangkan kemerdekaan beragama.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Maka Osiander yakin, bukan Perjanjian Westphalia di abad ke-17 itu yang memulai batas-batas kedaulatan yang kemudian disebut "Tata Westphalia". Kedaulatan yang seperti kita kenal sekarang agaknya baru mulai mencari bentuknya setelah Revolusi Prancis, ketika kedaulatan tak lagi melekat pada pribadi raja yang menguasai sebuah wilayah. Kedaulatan sejak saat itu menjadi kedaulatan semua warga-kedaulatan bangsa-yang berada dalam proteksi sebuah negara. Dan "negara", dalam telaah Osiander, baru hadir dalam maknanya yang sekarang sejak abad ke-19.

Dengan kata lain, "negara" adalah produk sebuah masa, sebuah tempat. Meskipun demikian, ia tak mudah hilang bersama waktu. Marx pernah meramalkan suatu hari nanti, bila masyarakat komunis tercapai, negara akan menyusut dan menghilang, melapuk dan layu. Tapi sampai hari ini, belum tampak tanda-tanda ke arah itu. Di mana-mana masih ada struktur politik dengan pusat pengambilan keputusan yang juga punya wewenang memaksa, yang hadir dukung-mendukung dengan sebuah komunitas yang disebut "bangsa"-komunitas yang menghuni satu wilayah di muka bumi. "Negara," tulis Osiander dalam Before the State: Systemic Political Change in the West from the Greeks to the French Revolution, "terus dianggap sebagai kerangka yang tak bisa dilepaskan dari politik."

Tak berarti dalam hubungan antarnegara kita melanjutkan "Tata Westphalia". Sejarah dan geografi Westphalia terlampau jauh untuk bisa saya bayangkan berpengaruh ke percaturan internasional Indonesia hari ini. Sejarah bukanlah satu garis lurus dengan arah ke pelbagai penjuru. Sejarah adalah pelbagai diskontinuitas.

Maka, seperti Osiander, saya tak yakin "tata" itu ada dan berlanjut dipatuhi sampai sekarang. Yang ada hanyalah "tata" yang sekaligus "bukan-tata": ketertiban teritorial yang dijaga dengan kekuatan dan ancaman yang sesekali bisa meledak, dan untuk mencegahnya lahirlah kesepakatan antarnegara yang sesekali retak.

Dalam bentuk ekstremnya, "tata" yang "bukan-tata" itulah yang sebenarnya hendak dijadikan alasan perang Daulat Islamiyah (IS), yang tak mengakui batas geografi politik yang ada. Tapi itu juga yang sebenarnya diberlakukan Israel di wilayah Palestina yang didudukinya.

Memang, kadang-kadang orang sebal dengan batas. Tapi bila kita ingat akan "tata" perbatasan yang bisa diacak-acak dengan kekerasan, mungkin kita sesekali tersenyum kepada petugas imigrasi.

Goenawan Mohamad

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Bentrok TNI AL dan Brimob di Sorong, Mabes Polri: Penyelesaian Berjalan Baik

5 menit lalu

Suasana di Kota Sorong saat TNI AL bentrok dengan Brimob Polri. TEMPO/Istimewa
Bentrok TNI AL dan Brimob di Sorong, Mabes Polri: Penyelesaian Berjalan Baik

Mabes Polri bungkam untuk penjelasan berikutnya perihal proses hukum terhadap anggota Brimob yang terlibat bentrok.


Presiden Jokowi Wanti-wanti Pola Baru TPPU: Penanganannya Tak Boleh Kalah Canggih

28 menit lalu

Presiden Jokowi memberikan keterangan usai melepas bantuan kemanusiaan pemerintah untuk Palestina dan Sudan di Pangkalan TNI AU Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Rabu, 3 Maret 2024. TEMPO/Daniel A. Fajri
Presiden Jokowi Wanti-wanti Pola Baru TPPU: Penanganannya Tak Boleh Kalah Canggih

Presiden Jokowi mengingatkan untuk waspada terhadap pola baru TPPU yang berbasis teknologi.


Hasil Piala Asia U-23 2024: Timnas Indonesia Menang 1-0 atas Australia, Peluang Lolos Fase Grup Terbuka

41 menit lalu

Pemain Timnas Indonesia Komang Teguh dan rekan-rekannya merayakan gol ke gawang Australia di Piala Asia U-23 2024 pada Kamis, 18 April 2024. Twitter @TimnasIndonesia.
Hasil Piala Asia U-23 2024: Timnas Indonesia Menang 1-0 atas Australia, Peluang Lolos Fase Grup Terbuka

Komang Teguh menjadi pencetak gol kemenangan timnas U-23 Indonesia atas Australia di Piala Asia U-23 2024.


Western Digital Rilis SD Card 4 TB, Bagaimana Lompatan Harganya Dibanding Versi 1 TB?

43 menit lalu

Western Digital merilis SanDisk Extreme microSD 1 TB dan SanDisk Extreme PRO microSDXC 1 TB. Kredit: Western Digital
Western Digital Rilis SD Card 4 TB, Bagaimana Lompatan Harganya Dibanding Versi 1 TB?

WD bersiap menelurkan produk SD Card berkapasitas 4 TB. Tahap awal dari mimpi besar untuk mewujudkan kartu data berkapasitas 128 TB.


Bamsoet Resmikan Sirkuit Gokart Electric

44 menit lalu

Bamsoet Resmikan Sirkuit Gokart Electric

Bambang Soesatyo meresmikan Barcode Gokart Electric di Mall of Indonesia (MOI).


Jelang AS Roma vs AC Milan di Leg 2 Perempat Final Liga Europa, Daniele De Rossi Diumumkan Akan Terus Melatih Giallorossi

48 menit lalu

Pelatih AS Roma Daniele De Rossi. REUTERS/Alberto Lingria
Jelang AS Roma vs AC Milan di Leg 2 Perempat Final Liga Europa, Daniele De Rossi Diumumkan Akan Terus Melatih Giallorossi

Sebelumnya Daniele De Rossi ditunjuk sebagai pelatih AS Roma menggantikan Jose Mourinho untuk jangka waktu singkat hingga akhir musim ini.


Bantah Catut Nama Dosen Malaysia, Kumba Digdowiseiso Bilang Begini

50 menit lalu

Kampus Universitas Nasional (UNAS). Foto : UNAS
Bantah Catut Nama Dosen Malaysia, Kumba Digdowiseiso Bilang Begini

Kata Kumba Digdowiseiso soal kasusnya.


PNM Mekaar Kembangkan Usaha Jamu Nasabah

53 menit lalu

PNM Mekaar Kembangkan Usaha Jamu Nasabah

Di PNM Mekaar, nasabah tidak harus mensyaratkan agunan dan tidak harus memiliki usaha yang sudah mapan. Bahkan orang yang baru akan memulai usaha bisa mendapatkan pinjaman.


Proliga 2024: SBY Berharap Duet Renan Buiatti dan Reza Beik Perkuat Pertahanan Jakarta LavAni

1 jam lalu

Rekrutan anyar Jakarta LavAni, pemain outside hitter Mohammad Reza Beik saat mendapatkan sambutan dari pemilik klub Susilo Bambang Yudhoyono di Cikeas, Bogor, Jawa Barat, Kamis (18/04/2024). (ANTARA/Instagram/Jakarta LavANi).
Proliga 2024: SBY Berharap Duet Renan Buiatti dan Reza Beik Perkuat Pertahanan Jakarta LavAni

Apa harapan pemilik klub Jakarta LavAni Allo Bank Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terhadap Renan Buiatti dan Reza Beik di Proliga 2024?


Benarkah Tidur di Lantai atau dengan Kipas Angin Sebabkan Paru-paru Basah?

1 jam lalu

Sejumlah anggota ormas dari BPPKB tidur di lantai  saat menunggu pendataan setelah diamankan oleh tim pemburu preman Polres Jakarta Barat (21/9).  Tempo/Aditia Noviansyah
Benarkah Tidur di Lantai atau dengan Kipas Angin Sebabkan Paru-paru Basah?

Dokter meluruskan beberapa mitos seputar paru-paru basah, termasuk yang mengaitkan kebiasaan tidur di lantai dan kipas angin menghadap badan.