TEMPO Interaktif, Jakarta -
Pemain : Jim Broadbent, Ruth Sheen, Lesley Manville, Oliver Maltman
Kepahitan langsung mencekam ketika adegan pertama film ini menyajikan wajah muram seorang pasien Gerry (diperankan dengan baik oleh aktris Imelda Staunton yang tampil sekilas). Sang pasien disergap insomnia dan datang mengunjungi Gerry hanya untuk mendapatkan resep obat tidur. Depresi, murung dan gelap. Kontras dengan kehidupan Gerry, sang prikiater yang dengan sabar membimbing pasiennya untuk menggali lebih dalam penyebab depresinya, daripada langsung menjejali obat tidur.
Demikian pula peran Gerry sehari-hari menghadapi kawan-kawannya yang memperlakukan rumahnya seperti sebuah pelabuhan teduh, sebuah tempat untuk berlindung dari segala luka dan pedih. Para pencari keteduhan itu adalah Mary (Lesley Manville),sekretaris Gerry dan Ken (Peter Wight), kawan lama Tom.
Kamera Mike Leigh seperti melakukan sebuah observasi—tanpa mengganggu privasi—para tokoh-tokohnya. Mary, seorang perempuan yang sudah bercerai dan terus menerus mencari pasangan hidup malah akhirnya menemukan hiburan melalui alkohol. Paa setiap kunjungannya ke rumah Tom dan Gerry, kita melihat bagaimana Mary berceloteh dalam mabuk, merayu Joe (Oliver Maltman), anak Tom dan Gerry yang jauh lebih muda daripadanya. Kita tahu,harapan Mary untuk bisa berpasangan dengan Joe bukan persoalan nafsu seorang “tante girang” pada daun muda; tetapi lebih pada perasaan ingin menjadi bagian keluarga bahagia yang tentram dan apik itu.
Ken, sahabat Tom, yang juga tamu tetap di keluarga itu adalah sebungkah tubuh tambun yang penuh keputus-asaan dan kemarahan. Saat Ken merayu Mary, kita tak tahu apa karena dia sekedar kesepian atau karena organ tubuh lelaki yang sudah lama tak digerakkan. Mary menolak keras juga bukan karena sukar melihat ketulusan Ken, tetapi karena hati dan mata Mary sudah tertancap keras pada Joe.
Drama mencapai klimaks ketika Joe datang di sebuah malam bersama kekasih barunya, Katie (Karina Fernandez), seorang psikiater muda yang lincah, cerdas dan dengan segera bisa cocok dengan keluarga Tom dan Gerry. Dengan segera pula kita bisa melihat kecemburuan yang luarbiasa yang bergejolak dari wajah Mary. Masam, pahit, luka. Segalanya bercampur aduk dalam diam.
Mike Leigh bukan penulis dan sutradara yang gemar plot yang jelas. Film-filmnya lebih merupakan diorama, sebuah rangkaian peristiwa yang seolah tak tertata. Seperti hidup yang sesungguhnya: kerutinan slealu bisa diduga karena sudah menjadi agenda hidup; tetapi peristiwa sering datang tanpa diundang. Film Another Year menunjukkan bahwa empat musim: musim gugur, musim dingin, musim semi dan musim panas akan selalu datang dan pergi. Tetapi peristiwa kematian, seperti yang dialami Ronnie (David Bradley)—adik Tom—adalah sesuatu yang menampar hidupnya.
Lagi-lagi terjadi kontras antara kehidupan keluarga Tom dan Gerry yang manis,bahagia dan tertata; dengan keluarga Ronnie yang miskin, penuh kemarahan dan kehilangan.
Mike Leigh tidak percaya pada dinamika kamera. Tidak percaya bahwa drama harus berisi jerit, darah dan klimaks ekstase yang mengguncang. Kita menyaksikan orang-orang seperti Mary, Ken, Ronny yang mewakili kesepian dan luka; tingkah laku yang konyol dan rasa kehilangan arah, seluruhnya muncul melalui gerak, lirik, dialog dan cahaya mata yang redup.
Seperti juga film-film sebelumnya, sutradara Mike Leigh tidak memulai dengan skenario. Dia memulai dengan ide dan lokakarya. Seluruh pemain dikumpulkan dan diajak memasuki sosok yang akan ditampilkan. Ide dan usul dialog dicampur, digodog dan dilatih bersama hingga akhirnya nanti menjadi sebuah skenario yang matang. Pada saat pengambilan gambar, seluruh pemain sudah menjelma menjadi tokoh yang akan mereka perankan. Itulah sebabnya kita kemudian menyaksikan tokoh-tokoh yang meyakinkan: Tom, Gerry, Joe, Mary, Ken, Ronny. Tetapi, Lesley Manville sebagai Mary tampil paling cemerlang.
Film Another Year yang skenarionya dinominasi pada Academy Award tahun ini adalah salah satu film drama terbaik tahun ini yang wajib disaksikan.
Sebuah cerita tentang kehilangan yang dinarasikan dengan kesederhanaan yang menyentuh.
Leila S.Chudori