Putu Setia
Kita kembali ke zaman batu. Tapi bukan ke zaman prasejarah. Dan tak perlu dipilah lagi apakah zaman batu sekarang ini tergolong zaman batu tua, zaman batu madya, zaman batu muda, atau zaman batu besar. Ini zaman batu kecil kalau dilihat dari sisi bentuknya, yakni batu akik.
Demam batu akik melanda negeri ini. Entah kapan mulainya, lima tahun lalu atau baru saja. Jangan-jangan pengalihan isu dari perang antara Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tiba-tiba saja Bupati Purbalingga mewajibkan pegawai negeri di kabupatennya mengenakan akik. Terserah, untuk cincin atau liontin.
Akik pun naik daun. Pameran akik digelar di Bojonegoro (Jawa Tengah), di Pinrang (Sulawesi Selatan), dan dibicarakan di Garut, Aceh, di mana-mana. Bahkan Direktorat Pajak sempat memaklumkan akan ada pajak tinggi untuk transaksi akik, entah ini terobosan atau numpang populer.
Pekan lalu, secara kebetulan, saya berjumpa rombongan penggila akik di Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Saya ikut menyusuri sungai di Kecamatan Tomoni, singgah ke tebing kuburan warga Toraja di Desa Cendana Hitam, lalu ke bukit Soroako dekat pertambangan nikel. Saya ikut memelototi bebatuan dan setiap batu dites kadar akiknya dengan alat yang konon hanya bisa dibeli di antara penggila akik.
Akik benda berkhasiat. Kalau tidak, bagaimana menjelaskan benda kecil yang jadi mata cincin itu bisa berharga jutaan rupiah? Pernah dengar akik bergambar Yesus atau Ratu Kidul yang berharga Rp 5 miliar? Ya, saya cuma dengar, tapi tak tahu siapa yang punya dan apa ada yang membelinya. Pernah melihat akik sarang tawon, akik badar lumut, akik epidot, atau akik lumut merah? Saya bisa sebut lebih banyak lagi, tapi khawatir malah bingung sendiri membedakannya. Khasiat akik-akik itu luar biasa--harus saya sebut: konon.
Ada akik yang berkhasiat menyembuhkan penyakit. Rendam akik di air dan minum air itu, segala penyakit hilang. Jika akik ini dikembang-biakkan (apa bisa ya?), pemerintah tak perlu membangun rumah sakit, dokter jadi pengangguran, dan kartu sehat Presiden Jokowi tak laku. Ada akik yang berisi badar (kandungan elemen) emas, nikel, dan logam lainnya, yang khasiatnya bisa "melemahkan musuh". Jangan-jangan akik ini dipakai para koruptor.
Akik jenis apakah yang dipakai kepolisian, terutama jajaran Bareskrim, kok bisa mendatangkan pelapor berduyun-duyun yang membuat pimpinan KPK langsung jadi tersangka? Akik apa pula yang dipakai Sarpin Rizaldi, kok bisa begitu saja ditunjuk sebagai hakim tunggal dalam perkara gugatan praperadilan Budi Gunawan, padahal sudah berkali-kali namanya cacat? Siapa yang memberikan Jokowi akik tertentu, kok bisa melawan partai yang mengusungnya, padahal dia hanya petugas partai? Lalu apa jenis akik di cincin Rusdi Kirana, mengurus Lion saja dia amburadul, kok, bisa jadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden? Pertanyaan ini tentu ngawur, tapi penggila akik bisa berkata: "Ah, pasti pakai akik, tuh..."
Fenomena akik mengacaukan kerasionalan kita. Tapi pemabuk akik akan bilang, penggemar burung perkutut lebih gila lagi. Wong burungnya kecil, kok, bisa ditukar dengan mobil Innova (salah sebut, semestinya Proton), di mana letak hebat ketengkung-nya dibanding lengkingan pedangdut Cita Citata?
Kita kembali ke zaman batu, bukan era prasejarah, ini zaman batu akik. Mungkin alam memberi tanda, inilah masa-masa kita berada dalam dunia yang aneh, di saat akik bukan dilihat sebagai barang seni, tapi dipaksa berbicara tentang khasiat. Dan pemimpin kita pun jadi irasional.