Gampang betul pemerintah menyerah menyelesaikan kasus Tragedi Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II pada 1998. Dengan dalih sulit mencari bukti, fakta, dan saksi, Kejaksaan Agung memutuskan mengakhiri penanganan tiga kasus itu secara hukum. Pemerintah memilih menyelesaikan pelanggaran berat hak asasi manusia tersebut lewat "rekonsiliasi".
Pilihan jalur non-yudisial menunjukkan bahwa pemerintah bukan hanya tidak serius, tapi juga mengabaikan aspek keadilan yang seharusnya diterima korban. Ada 33 orang yang tewas-sebagian mahasiswa-dari tiga peristiwa itu. Keluarga mereka telah 18 tahun mencari tahu siapa sesungguhnya yang telah membunuh anak, saudara, dan kerabat mereka.
Pemerintah lupa bahwa memilih jalur rekonsiliasi sebetulnya mensyaratkan pengungkapan kebenaran terlebih dulu. Bagaimana melakukan rekonsiliasi lewat Dewan Kerukunan Nasional (DKN) yang akan dibentuk Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan bila tak jelas siapa yang bersalah, siapa korban, dan bagaimana gambaran utuh peristiwa itu. Apa dan siapa yang hendak dirukunkan jika para pelaku tak ditemukan?
Pengungkapan peristiwa pelanggaran berat HAM pada masa lalu merupakan hal mutlak. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia-Pengadilan HAM Ad Hoc diatur dalam Pasal 43-44 dan Pasal 46 tentang ketentuan kedaluwarsa-juga telah memerintahkan penyelidikan, penyidikan, hingga penuntutan pelaku pelanggaran berat HAM itu ke pengadilan.
Namun, alih-alih mengungkap, kejaksaan tak sungguh-sungguh mengusut rentetan peristiwa yang dimulai dari penembakan mahasiswa Trisakti pada 12 Mei 1998 itu. Peradilan militer memang telah menghukum enam pelaku penembakan. Tapi temuan Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM Trisakti Semanggi I dan II yang dibentuk Komisi Nasional HAM tentang keterlibatan 50 perwira TNI dan Polri tak pernah digubris kejaksaan.
Kejaksaan berdalih tak mungkin mengadili kasus dua kali (prinsip ne bis in idem). Mereka lupa bahwa enam orang yang tak bisa diadili ulang itu merupakan pelaku lapangan. Pelaku utamanya sama sekali belum disentuh. Hasil penyelidikan Komnas HAM beberapa tahun kemudian juga berulang kali dikembalikan kejaksaan karena dianggap tak lengkap. Tampak betul lembaga ini menghindari kasus yang bisa menyeret petinggi militer dan polisi itu.
Ketika Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto serta Jaksa Agung M. Prasetyo memutuskan memilih jalur rekonsiliasi, padamlah sudah harapan keluarga korban menemukan keadilan. Jelas mustahil mendapatkan kebenaran jika orang yang semestinya diperiksa justru menjadi penentu nasib mereka hari ini.
Wiranto berada di pucuk pimpinan TNI ketika terjadi kerusuhan Mei 1998, Tragedi Trisakti, serta Semanggi I dan II. Alangkah menggelikan keputusan yang teramat penting itu justru mengandung cacat dan bahkan pelanggaran etik yang berat. Presiden Joko Widodo harus menganulir keputusan yang berbahaya bagi penegakan hukum itu.