Keluh kesah yang disampaikan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo bisa dibilang mencurigakan. Langkah Gatot mempersoalkan kewenangan pengelolaan anggaran TNI bertentangan dengan cita-cita menempatkan militer di bawah supremasi sipil melalui Kementerian Pertahanan.
Disebut mencurigakan karena Gatot seperti tidak paham isi Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 28 Tahun 2015 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Pertahanan Negara. Dalam dengar pendapat dengan Dewan Perwakilan Rakyat tiga hari yang lalu, ia berkilah peraturan itu telah mengebiri kewenangannya mengendalikan anggaran TNI Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.
Faktanya, peraturan menteri yang dipermasalahkan Gatot telah mengakomodasi kewenangan tersebut. Pasal 26 peraturan itu menyebutkan seluruh rencana kerja dan kebutuhan anggaran disusun setelah menerima masukan dari unit operasi Markas Besar TNI dan masing-masing angkatan. Perhitungan total kebutuhan anggaran ini datang dari level paling bawah di tiap angkatan. Panglima TNI kemudian menyerahkan total kebutuhan anggaran kepada Kementerian Pertahanan sebagai pengguna anggaran.
Artinya, tiap angkatan tidak boleh menyodorkan langsung kebutuhan anggaran ke Kementerian Pertahananseperti yang dikeluhkan Gatot di depan anggota Dewan. Proses penyusunan anggaran di Kementerian Pertahanan selama ini juga melibatkan Markas Besar TNI. Prosedur ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
Dalam beleid itu disebutkan, Kementerian Pertahanan memiliki kewenangan mengatur administrasi anggaran dan kebijakan strategi pertahanan. Sebab, bukan zamannya lagi TNI menentukan kebutuhannya sendiri. Aturan tersebut dibuat agar TNI lebih transparan saat membeli alat utama sistem pertahanan. Hal ini sejalan dengan agenda reformasi anggaran di tubuh TNI.
Secara hierarkis, peraturan yang dipersoalkan Gatot juga tidak bertentangan dengan Undang-Undang TNI. Itu sebabnya, alasan Gatot mengungkit persoalan ini agar penggantinya di kemudian hari memiliki kewenangan menyusun anggaran pertahanan, termasuk untuk masing-masing angkatan, terlalu mengada-ada.
Apalagi keluh-kesah itu disampaikan setelah peraturan Menteri Pertahanan dikeluarkan lebih dari satu tahun. Bila merasa kewenangannya sebagai orang nomor satu di TNI dipreteli, Gatot semestinya tak ragu mempersoalkan hal itu tak lama setelah peraturan menteri terbit. Tak mengherankan bila kekecewaan Gatot memantik kecurigaan: ada agenda politik di balik unek-uneknya.
Bukan sekali ini saja pernyataan Gatot menyerempet urusan politik. Ia pernah mengusulkan agar anggota TNI suatu saat punya hak berpolitik. Agar tak terjadi syak wasangka, Gatot sebaiknya tidak membicarakan topik di luar tugasnya sebagai panglima militer. Ia sebaiknya berfokus melaksanakan kebijakan pertahanan negara dan meningkatkan profesionalitas TNI.