Cahaya perdamaian Palestina-Israel di ujung lorong itu semakin redup, mungkin akan padam dalam waktu cukup panjang. Hampir tak ada lagi yang bisa diharapkan setelah, Selasa lalu, Knesset atau parlemen Israel mengesahkan undang-undang yang melegalisasi penyerobotan tanah orang-orang Palestina demi pembangunan permukiman Yahudi di Tepi Barat dan Yerusalem Timur.
Undang-undang yang berlaku surut itu memang menjamin kompensasi uang atau tanah di lokasi lain kepada warga Palestina yang terpaksa angkat kaki dari tanahnya. Tapi dapat dipastikan perampasan tanah yang disahkan oleh negara itu akhirnya akan mentorpedo semangat pembicaraan perdamaian, yang pada dasarnya juga membahas pembagian tanah Palestina-Israel setelah Perang Enam Hari 1967.
Di bawah undang-undang baru itu, kelak para juru runding Palestina akan menyaksikan betapa tanah yang mereka pertaruhkan untuk pendirian negara Palestina yang merdeka perlahan-lahan berganti wajah menjadi rangkaian permukiman Yahudi. Saat ini terdapat 600 ribu warga Yahudi bermukim di 140 kawasan permukiman di Tepi Barat dan Yerusalem Timur. Dengan undang-undang baru itu, jumlah pemukim tentu akan bertambah dan komplikasi konflik akan semakin susah terurai.
Pembicaraan perdamaian tidak akan efektif jika pembangunan permukiman Yahudi jalan terus. Berdasarkan pandangan itu pula, masyarakat internasional, Uni Eropa, Perserikatan Bangsa-Bangsa, tak terkecuali negara-negara sekutu Israel, menyesalkan bahkan mengutuk perkembangan yang bakal memperkeruh prospek perdamaian Palestina-Israel ini.
Israel sendiri tak begitu terganggu oleh reaksi ini karena "sohib" terbesar dan terdekatnya, Amerika Serikat kali ini di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump sama sekali tak berkeberatan. Jika keadaan ini dibiarkan, tertutuplah jalan untuk memulai kembali pembicaraan damai yang macet sejak 2013. Kemudian menghebatlah konflik horizontal Palestina-Yahudi di daerah-daerah pendudukan.
Masa pemerintah Obama yang ikut mendorong kelahiran Resolusi Dewan Keamanan 2334, yang mengecam permukiman Yahudi seraya "menunjukkan pelanggaran hukum internasional dan merupakan hambatan perdamaian" itu, berakhir sudah. Kini Amerika Serikat bagaikan seorang kakak yang melindungi adiknya, Israel, tanpa syarat dan keduanya telah memilih mengisolasi diri dari masyarakat internasional.
Tak ada pilihan, masyarakat internasional, termasuk Indonesia, harus cepat menghambat pemberlakuan undang-undang permukiman yang baru dan bertentangan dengan hukum internasional itu. Jika tak ingin radikalisasi merebak bak cendawan di musim hujan di tanah pendudukan, para pengacara bisa mengajukan pelanggaran hukum internasional ini ke Mahkamah Kriminal Internasional.
Sudah saatnya tekanan internasional harus lebih keras daripada tekanan para politikus ultranasionalis Israel yang memang tak menghendaki perdamaian Israel-Palestina.