Hari yang ditunggu-tunggu para kandidat kepala daerah dan para pendukungnya akhirnya tiba. Pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak di 101 daerah di Indonesia digelar hari ini. Antusiasme pemilih di pilkada serentak 2017 diprediksi lebih tinggi dibanding dalam pilkada serentak 2015 lalu. Apalagi saat berlangsungnya pilkada serentak hari ini telah ditetapkan sebagai hari libur nasional.
Pertarungan isu menjelang pilkada serentak banyak diikuti "Generasi Y", sebuah sebutan untuk generasi yang lahir setelah era reformasi. Sebagai pemilih pemula, mereka pasti menyimak isu-isu politik yang berseliweran, termasuk di media sosial. Antusiasme mereka diharapkan berlanjut hingga ke bilik suara.
Sayangnya, pemilihan kepala daerah serentak tahun ini menjadi pilkada yang paling mengkhawatirkan pada era demokrasi, terutama yang terjadi di DKI Jakarta sebagai barometer politik nasional. Fenomena yang terasa aneh ini memang bukan di Indonesia atau Jakarta saja. Watak rasis dan primordial para pendukung calon itu dipertontonkan juga oleh "mbahnya demokrasi", Amerika Serikat, dalam pemilu terakhir yang dimenangi Donald Trump.
Sejatinya, negara kita sudah memiliki cukup banyak pengalaman dengan segala kesuksesan menggelar sejumlah pemilihan umum, dari pemilihan presiden, pemilihan anggota legislatif, hingga pemilihan kepala daerah. Namun pilkada kali ini menjadi batu ujian, apakah kita sudah semakin dewasa dalam berdemokrasi atau justru terjadi arus balik.
Masa kampanye pemilihan kepala daerah dalam tiga bulan terakhir ternyata mempertontonkan suasana berdemokrasi yang keruh. Para kandidat di hampir semua daerah yang secara serentak menggelar pemilihan pada hari ini terjebak pada isu-isu primordial ketimbang menawarkan substansi programnya. Para pendukung calon, terutama di Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, bahkan memainkan sentimen keagamaan dan ras. Beragam kabar busuk yang menyerang para calon disebar di dinding-dinding digital. Berita palsu (hoax) merajalela. Peragaan kebencian yang membahayakan kerukunan berbangsa tersaji secara brutal.
Praktis, kualitas berdemokrasi kita mengalami penurunan pada pemilihan kepala daerah kali ini. Masyarakat tak siap menerima bahwa demokrasi bisa menghasilkan calon dengan latar belakang berbeda. Para kandidat seharusnya lebih mengedepankan terobosan program yang menjawab persoalan daerah untuk memikat pemilih dibanding ikut larut dalam urusan primordial yang mempersoalkan perbedaan agama para calon.
Dengan segala kekurangannya, kita sudah disuguhi berbagai informasi plus-minus tentang profil dan program semua kandidat. Tidak ada calon yang benar-benar sempurna. Mari kita datang ke tempat pemungutan suara dan kita pilih pasangan calon yang keburukannya paling sedikit. Kita lihat track record-nya, lalu coblos gambarnya di bilik suara.