Putu Setia
Kalau boleh memberi saran, saya ingin Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama lebih santai menerima tamu-tamunya. Apakah tamunya itu orang baik-baik atau siluman, yang menurut kamus artinya makhluk halus yang sering menampakkan diri sebagai manusia atau binatang.
Siluman itu bukanlah manusia, dia hanya makhluk halus. Sehalus apa, saya tidak tahu. Atau gampangnya dibalik saja, penampakannya memang manusia, tapi sifat-sifatnya seperti hewan. Serakah, suka merebut makanan orang lain, tak punya etika, dan seterusnya. Kalau anggaran siluman lain lagi, tak jelas juntrungannya dari mana, tiba-tiba bagai makhluk halus dia nongol begitu saja.
Tapi apakah Basuki harus menghadapi dengan keras pula? Nama panggilan Gubernur ini Ahok, itu bagus sekali. "Hok" itu adalah pukulan atau setara itulah. Kata "A" di depan itu berarti kebalikannya. Jadi Ahok bukanlah orang yang mudah memukul, baik dengan tangan maupun kata-kata yang kasar. Seharusnya bisa lembut.
Apalagi menghadapi anggaran siluman. Namanya saja anggaran, kan belum ada tindak pidana korupsi, wong uangnya belum ada. Bahwa ada UPS-jangan keliru dengan USB-yang dianggarkan sampai Rp 6 miliar, ya, jangan terlalu cepat marah. Bukankah nanti akan ada eksekusi, maksud saya, proses pembeliannya? Di situ dipelototi, di mana membelinya, siapa yang membeli, berapa harganya, ke mana barang itu dibawa, apakah barang itu memang dibutuhkan. Kalau ada pengawasan, tentu ketahuan apa UPS itu dibeli di pasar burung atau di tempat jasa fotokopi.
Saya maklum sekali, ini anggaran untuk sebuah organisasi yang besar, apalagi untuk perencanaan anggaran pemerintah daerah yang kaya raya, duitnya triliunan rupiah. Perlu sejak awal dirancang anggaran yang benar, sehingga pengawasannya jadi mudah kalau ada penyimpangan. Kalau harga UPS itu cuma Rp 1 miliar, ya, dianggarkan Rp 1,5 miliar masih lumayan. Tapi tetap ada "kembaliannya" kalau harganya tak sampai segitu.
Yang jadi masalah, apakah barang itu perlu dan siapa yang mengusulkan? Sekolah saja perlu direhab, kok minta yang bukan-bukan. Siapa yang "menyilumi"? Wajar Ahok ngotot untuk mencabut anggaran siluman ini sampai ke akar-akarnya. Juga mengusut siapa biang keladinya, meskipun di Jakarta tak ada tanaman keladi. Anggaran siluman itu sudah merupakan sebuah niat yang jahat untuk suatu saat akan dijadikan sarana memperkaya diri. Tapi apakah niat sudah merupakan suatu tindak pidana korupsi? Kalaupun itu dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi, apakah sudah ada kerugian negara dari sebuah niat buruk?
Ribut soal anggaran yang membuat Ahok berseteru dengan anggota DPRD Jakarta bagi saya menjadi tontonan yang lucu. Bayangkan saja, pejabat setingkat gubernur bisa bicara sekeras itu, dan lawan bicaranya tak kalah kerasnya. Berdiri, menuding, memaki, dan seterusnya. Saya akrab dengan kekerasan, ketika menjadi aktor teater rakyat di atas panggung, untuk memancing tawa. Namun, bagi banyak orang, perseteruan Ahok dan anggota DPRD itu sudah pada tingkat memalukan.
Apalagi, dulu kala, konon, kita dikenal punya budaya yang luhur, menempatkan seorang pemimpin pada wibawa yang agung. Jadi, saran saya serius, bisakah Ahok lebih santai? Tegas tak harus memaki. Beda pendapat tak harus berteriak. Perlu lebih rileks. Kalau ada waktu senggang, cobalah nonton pertunjukan. Atau sekalian main sinetron seperti Wakil Ketua DPR Fadli Zon memanfaatkan waktu resesnya. Akan halnya para wakil rakyat, saya malas memberi saran: mereka kan politikus.