Langkah mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Antasari Azhar mempersoalkan kasus yang menjeratnya di masa lalu memicu kontroversi. Mengungkit kasus ini di tengah perhelatan pemilihan kepala daerah DKI Jakarta bisa dengan mudah dianggap sebagai bagian dari manuver pihak yang berseteru. Antasari perlu memberi bukti bahwa ini murni upaya mencari kebenaran-bukan untuk tujuan lainnya.
Antasari dihukum penjara karena diduga sebagai otak penembakan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen, pada 14 Maret 2009, dan diganjar 18 tahun bui. Ia lepas dari balik jeruji besi setelah mendapat pembebasan bersyarat pada 10 November 2016. Mantan jaksa ini tak lagi berstatus terpidana setelah mendapat grasi dari Presiden Joko Widodo pada 16 Januari lalu.
Bebas dari tahanan, Antasari sempat menyatakan akan melupakan kasusnya di masa lalu. "Benci dan dendam sudah saya tinggalkan di penjara," katanya. Sikap itu seperti bertolak belakang dengan apa yang dilakukannya pada 1 Februari lalu, ketika ia datang ke Kepolisian Daerah Metro Jaya dan menanyakan pengusutan SMS palsu yang pernah ia laporkan enam tahun silam. SMS itu merupakan bukti utama yang menjerat Antasari.
Aroma politik dalam kasus ini memang sangat kuat karena langkah Antasari dilakukan tiga hari setelah ia bertemu dengan Presiden Jokowi. Pada 14 Februari lalu, Antasari juga melapor ke Mabes Polri dan mengungkapkan kedatangan Hary Tanoesoedibjo ke rumahnya sebagai utusan Susilo Bambang Yudhoyono, yang saat itu presiden dan kini Ketua Umum Partai Demokrat. Menurut Antasari, Hary membawa pesan Yudhoyono agar besannya, Aulia Pohan, tak ditahan. Antasari mengabaikan permintaan itu. Tak berselang lama, Antasari ditangkap karena kasus Nasrudin.
Langkah Antasari menuntut keadilan dengan meminta kasusnya dibuka patut diapresiasi. Memang banyak "bolong" yang menimbulkan tanda tanya dalam kasus ini. Selain soal SMS yang ia anggap palsu itu, Antasari meragukan bukti lain: baju Nasrudin yang tidak dihadirkan dalam persidangan, proyektil peluru yang tak cocok dengan senjata yang dipakai penembak, dan visum yang berbeda dengan luka di tubuh korban.
Hanya, manuver Antasari menjelang pemilihan memang bisa dibaca sebagai bagian dari pertarungan pilkada. Presiden Jokowi dan partai berkuasa mendukung pasangan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Syaiful Hidayat. Sedangkan partai yang dipimpin Yudhoyono mengusung Agus Yudhoyono-Sylviana Murni. Yudhoyono menuding ada motif politik dalam pengungkapan Antasari, yaitu untuk menjegal anaknya.
Untuk membuktikan bahwa kasus Antasari murni hukum, ia harus melakukan langkah lebih serius, misalnya membantu menyodorkan bukti kuat bahwa ia adalah korban kriminalisasi di era pemerintahan Yudhoyono. Pemerintah juga harus serius mengusut kasus ini, untuk meyakinkan publik bahwa perkara Antasari semata kasus hukum-tak ada urusannya dengan politik.