TEMPO.CO, Jakarta -
Apa yang ditemukan anggota keluarga Harper ketika sang Ayah berpulang? Sebuah keluarga lain yang selama ini tersembunyi.
PEOPLE LIKE US
Sutradara : Alex Kutzman
Skenario : Roberto Orci dan Jody Lambert
Pemain : Chris Pine, Elizabeth Banks, Michelle Pfeiffer
Kematian tak selalu berarti sebuah garis akhir. Setelah kematian, ternyata ada kehidupan baru, pengetahuan baru dan anggota keluarga baru.
Itulah yang terlontar ke hadapan Sam Harper (Chris Pine), saat ia mendengar kabar berpulangnya sang Ayahanda. Jerry Harper, seorang produser terkemuka di Los Angeles yang dipuja seluruh artis di penjuru Amerika, itu justru sosok yang dibenci anaknya sendiri karena Jerry tak pernah memberikan waktu untuk anak lelakinya itu.
Meski enggan untuk melayat, Sam akhirnya mematuhi dorongan kekasihnya, Hannah (Olivia Wilde) untuk mengunjungi Ibunya, Lilian (Michele Pfeiffer) dan membantu pemakaman Ayahnya. Sementara Sam menolak untuk mengingat kepahitan masa kecilnya, dia disodorkan warisan ayahnya: segudang piringan hitam berharga dan sekotak tas alat cukur. Jengkel dengan ‘warisan’ sialan yang dianggap tak punya harga—maklum, Sam ditimpa hutang besar dan sedang dikejar-kejar yang berwajib karena kesalahan yang terjadi dalam pekerjaan—Sam malah menemukan sejumlah uang tunai di dalam tas alat cukur itu. Dengan satu memo tulisan Ayahnya: “tolong urus mereka.”
Sam tak tahu nama yang tercantum dalam memo itu. Dan dia juga tak tahu apakah duit itu layak diberikan kepada “mereka”. Sam mengikuti instingnya untuk menyimpan duit itu dulu dan melacak siapakah yang harus dia ‘urus’.
Dari hasil lacakannya, dia berkenalan dengan Frankie (Elizabeth Banks) seorang ibu tunggal dari son Josh (Michael Hall D’Addario) anak lelaki bandel (yang cerdas). Entah bagaimana, Sam terlanjur memperkenalkan dirinya sebagai sesama alkoholik yang bersama-sama Frankie tengah menjalani pengobatan berkelompok. Sam yang masih terkejut bahwa Ayahnya mempunyai ‘keluarga lain’ di luar dirinya memastikan hubungannya dengan Frankie menjadi hubungan perkawanan. Sementara Sam mencoba mempertanyakan Ibunya, perkawanan Sam, Frankie dan Josh semakin akrab.
Cerita keluarga dengan aroma kemesraan sekaligus kepedihan semacam ini hanya akan berhasil berdasarkan dua hal: skenario yang rapi dengan dialog yang cerdas dan jujur (untuk memberikan ciri khas pada setiap karakter) dan chemistry antar setiap pemain. Itulah sebabnya film seperti The Kids are Allright (Lisa Cholodenko, 2010) bisa menembus berbagai festival bergengsi sekaligus meraih penonton karena kita merasakan kejujuran, ketulusan dan dialog yang pas untuk setiap karakter. Terlebih lagi chemistry antar pemain –ibu dan anak, pasangan gay maupun pasangan heteroseksual—semuanya terasa cocok dan pas.
Film ini bermain pada teritori yang kita kenal: kematian yang membuka kotak pandora milik keluarga. Kita ingin menghindar, tapi kita tak bisa lari dari kenyataan. Sam diterpa kenyataan bahwa ia memiliki adik tiri, tetapi sang ibu, untuk waktu yang lama, menyangkalnya. Film seperti ini tidak mengandalkan kejutan atau suspens. Sejak awal kita sudah disodorkan cerita bahwa Jerry Harper mempunyai dua keluarga. Tetapi yang disajikan adalah: bagaimana anak-anak dari kedua keluarga itu menghadapi informasi baru yang mengejutkan itu. Sanggupkah atau bersediakah mereka menjadi adik-kakak yang saling mencintai?
Ada bagian yang agak terseret-seret pada paruh kedua film ini. Namun, debut Alex Kurtzman (yang sebelumnya lebih dikenal sebagai salah satu penulis skenario film Mission Impossible III, The Transfomer, Star Trek) ini sangat layak untuk disaksikan. Sebuah film keluarga yang manis, pedih sekaligus memberikan akhir dengan rangkaian gambar masa lalu yang tak membutuhkan kata.
Leila S.Chudori