Putu Setia
@mpujayaprema
ISENG utak-atik alfabet, ternyata huruf paling populer pekan ini adalah "B", bukan "A". Apakah ini berarti menjadi orang kedua tak harus kecewa karena bisa saja lebih menentukan? Entah, mungkin "B", maksudnya betul.
Presiden Jokowi sudah melantik Kepala Kepolisian (Kapolri) yang baru, Badrodin Haiti--sebut saja B1. Pelantikan terang benderang dan gambar muncul di layar televisi. Beberapa hari kemudian Budi Gunawan (sebut saja B2) dilantik sebagai Wakil Kapolri oleh B1 dalam keadaan tertutup. Wartawan tak boleh hadir. Tamu terbatas di ruang yang berdesakan, bukan ruangan yang biasa dipakai lantik-melantik. Muncul isu, apakah akan ada Kapolri de facto dan Kapolri de jure? B1 berkata bahwa dia tetap memegang komando, sembari menyebutkan tak ada matahari kembar di kepolisian. Bantahan ini justru membuat orang menduga ada "apa-apanya".
Sehari setelah B2 dilantik, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi nonaktif, Bambang Widjojanto (sebut B-KPK) diperiksa di Bareskrim Polri yang kepalanya Budi Waseno (ah, sebut ini B3). Sempat ada persiapan B-KPK akan ditahan di rumah tahanan Brimob Kelapa Dua. Rupanya pimpinan KPK mencium hal itu, lalu menelepon B1 agar B-KPK tak perlu ditahan. B1 meneruskan ke B3 dan memang akhirnya tak ada yang ditahan.
Ini kasus hukum atau permainan di ranah hukum? Kalau memang ada yang harus ditahan demi hukum, kenapa bisa dibatalkan lewat "sebuah permintaan" yang memanfaatkan hubungan kolega? Semakin tidak jelas apa yang terjadi di kepolisian dan masih menambah penasaran bagaimana sesungguhnya hubungan KPK dan Kepolisian seusai kemelut para tokoh "B" itu.
Mari lupakan para tokoh "B" agar kita tak makin "B" alias bingung. Kita bicara "B" yang bukan tokoh, dan ini banyak. Semuanya menarik dan kontroversial. Misalnya soal bola. Ini "B" yang ruwet sekaligus aneh. Beberapa jam sebelum PSSI melaksanakan Kongres Luar Biasa di Surabaya, Menteri Olahraga membekukan organisasi populer itu. Tapi pengurus PSSI tak ambil peduli, tetap saja berkongres dan memilih pengurus barunya. Ketua Umum terpilih La Nyalla Mattalitti juga tak peduli dengan pemerintah dengan alasan PSSI atasannya FIFA. Tapi kenapa tiba-tiba surat pembekuan itu digugat ke PTUN? Kalau memang tak peduli, ya, cuekin saja. Anjing menggonggong kafilah tetap menendang bola.
Sejatinya bisakah PSSI tak peduli? Izin pertandingan dikeluarkan polisi dan polisi meminta masukan dari pemerintah. Ternyata tak ada izin pertandingan yang dikeluarkan polisi di Lamongan, Padang, Surabaya, dan kota lain. Liga Indonesia--sudah berganti dan ada kata Qatar--tetap "B" alias beku. Bukan saja pemain bola yang merana, tapi juga masyarakat penggila bola dan tentu saja penjudi.
Pemerintah, lewat Menteri Olahraga, bisa saja keliru, terlalu mengintervensi. Namun Menteri Perdagangan juga mengintervensi undang-undang ketika melarang "B" yang satu ini: bir. Undang-undang menyebut peredaran minuman keras diatur oleh pemerintah daerah. Tapi menteri mengatur secara nasional, tak boleh bir dijual di minimarket. Aneh, ada perkecualian. Misalnya, di Pantai Kuta bir boleh dijual. La, apa sulitnya membeli bir di pantai itu lalu dibawa ke lapak-lapak pinggir jalan? Lagi pula tak ada baliho bertulisan "Bir Membunuhmu". Yang ada "Rokok Membunuhmu" dan sang pembunuh bebas dijual di mana saja.
Masih banyak "B" yang menarik dibicarakan. Tapi yang satu ini saya (pura-pura) tak paham: bikini. Soalnya heboh ini menyangkut moral. Lebih "menggoda" mana murid SMA berbikini dibanding berpakaian renang?