Poltak Partogi Nainggolan
Anggota Tim Ahli Pansus RUU Anti-Terorisme
Rancangan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme atau RUU Anti-Terorisme, yang merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013, mulai dibahas bersama DPR pada 18 Januari lalu. DPR sebenarnya sudah memulai pembahasan internal sejak Maret 2016 dengan menjaring masukan dari berbagai pemangku kepentingan.
Setelah DPR mendesak, pemerintah akhirnya hadir dalam pembahasan pada pertengahan bulan lalu Tapi, sikap pemerintah terhadap pasal-pasal awal mengenai judul rancangan undang-undang dan klausul "menimbang" menjadi penyebab terjadinya penundaan pembahasan. Kompromi dilakukan dengan mengalahnya DPR sehingga judul rancangan tetap "Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme". Adapun, saran DPR agar rancangan ini dibuat komprehensif-mencakup pencegahan, penindakan, dan penanganan korban pasca-serangan terorisme-diterima.
Kontestasi kepentingan atas siapa atau instansi mana-Polri ataukah TNI-yang memimpin perang melawan terorisme ini melatarbelakangi sikap ambigu pemerintah. Hal ini disebabkan oleh ketidaksiapan pemerintah dalam merespons daftar isian masalah yang dapat menyebabkan 50 persen perubahan rancangan. Perubahan itu dikhawatirkan akan berakibat perlu dibuatnya rancangan baru, bukan lagi bersifat revisi terbatas.
Jika pembahasan rancangan tetap mandek, masih ada solusinya, yakni Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan harus mengintervensi karena semua pemangku kepentingan rancangan ini mayoritas ada di bawah kewenangannya. Selain itu, pembahasan rancangan ini tidak perlu kaku agar negara dapat menanggapi secara cepat ancaman keamanan nasional dari aksi-aksi terorisme, sehingga pembahasan rancangan ini tidak perlu harus berakhir dengan deadlock. Jika tidak, komitmen pemerintah akan terus dipertanyakan: apakah sungguh-sungguh melihat terorisme sebagai sebuah ancaman nasional krusial atau tidak?
Pemerintah masih khawatir perubahan judul rancangan akan mengubah banyak di materi batang tubuh. Pemerintah terlalu cemas karena, dengan menghilangkan kata "tindak pidana", peran Polri sebagai instansi terpenting dalam perang melawan terorisme akan tersingkir secara otomatis. Padahal, tanpa judul itu, diganti pun, eksistensi lembaga koordinasi, seperti Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, tetap ada dalam batang tubuh. Lembaga itulah yang mengatur pembagian kerja dan kewenangan Polri dan TNI.
Pandangan pemerintah bahwa TNI sulit menjadi penyidik atas terduga teroris memang tak bisa dimungkiri karena tugas, pokok, dan fungsinya berbeda dengan Polri. Tapi, sulit dibantah bahwa TNI dengan unit-unit anti-terorismenya selalu siap dan terlatih di segala waktu dan medan. TNI dibutuhkan untuk menghadapi serangan terorisme dengan modus operandi dan medan berbeda, seperti di kawasan Pegunungan Biru, Poso, tempat kelompok Santoso bersembunyi.
Jadi, tidak ada yang keliru jika parlemen mengusulkan judul baru "RUU Penanggulangan Terorisme". Pemerintah tidak perlu takut kehilangan Polri sebagai salah satu instansi yang menjadi ujung tombak dalam penegakan hukum karena sifat undang-undang anti-terorisme yang akan dibuat ini komprehensif. Sikap yang dibutuhkan adalah kesediaan untuk bekerja sama, bukan mengedepankan arogansi sektoral.
Pemerintah bertanggung jawab dalam menciptakan wadah koordinasi yang lebih baik dengan meningkatkan kewenangan dan kapasitas BNPT serta sinergi berbagai instansi di bawahnya. Potensi pelanggaran hak asasi manusia tidak terletak pada judul, melainkan dalam materi-materi rancangan di dalamnya, terutama lama penahanan dalam proses investigasi dan penyidikan terduga teroris. Sedangkan penundaan atau deadlock berkelanjutan atas pembahasan rancangan ini akan berakibat pengabaian terhadap nasib negara dan bangsa ini dari ancaman terorisme yang terus meningkat.