Aparat penegak hukum seharusnya segera memanfaatkan momentum untuk menyeret korporasi yang terlibat dalam tindak pidana korupsi. Amunisi baru diberikan dua bulan lalu lewat Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi.
Saat ini banyak kasus korupsi melibatkan korporasi, baik yang ditangani kepolisian, kejaksaan, maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Di KPK saja tahun lalu sudah digelar 96 penyelidikan, 99 penyidikan, dan 77 penuntutan. Sebagian besar merupakan kasus yang melibatkan perusahaan, misalnya perkara PT Agung Podomoro Land. KPK telah menetapkan direktur utamanya, Ariesman Widjaja, dan seorang karyawan sebagai tersangka kasus suap untuk mencoba mempengaruhi peraturan daerah DKI Jakarta.
Selama ini hanya sedikit pemrosesan kasus korupsi yang menyeret korporasi ke pengadilan. Padahal sebenarnya sudah ada aturan untuk korporasi dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Salah satu kasus korupsi yang berhasil menjerat korporasi adalah yang berkaitan dengan proyek pembangunan Pasar Sentra Antasari di Banjarmasin. Pada 2010, PT Giri Jaladhi Wana diputus membayar denda Rp 1,3 miliar, dan perusahaan ditutup selama enam bulan.
Dalam berbagai kasus, meskipun perkara melibatkan korporasi, kebanyakan hanya individu yang bertanggung jawab atau yang terlibat diseret ke pengadilan. Individu inilah yang menjalani hukuman bila terbukti bersalah. Korporasi melenggang, tak merasakan efek jera. Mereka tinggal mengganti orang yang menjalani hukuman itu dengan orang baru.
Peraturan MA ini menjadi sangat penting untuk segera dimanfaatkan dengan baik guna menimbulkan efek jera bagi korporasi. Sebab, kejahatan korporasi "membunuh" lebih banyak korban. Kerugian yang ditimbulkan lebih luas, bisa negara, konsumen, pemegang saham yang tak bersalah, karyawan, perusahaan, perusahaan pesaing, atau masyarakat.
Baca juga:
Alasan kesulitan menyeret korporasi seharusnya sudah terbantu oleh peraturan MA ini. Selama ini aparat hukum kerap mengeluhkan kesulitan memenuhi syarat formal, seperti pengisian formulir, juga kesulitan dalam pembuktian.
Peraturan baru ini memberikan senjata yang memudahkan aparat hukum. Sejauh bisa dibuktikan bahwa korporasi mendapat keuntungan atau manfaat dari sebuah kejahatan korupsi, mereka bisa didudukkan di pengadilan. Bila mereka terbukti bersalah, hukuman berat pun semestinya dijatuhkan, melihat dampak yang ditimbulkannya. Apa pun bentuk hukumannya, baik berupa denda, denda dan penyitaan, maupun penutupan usaha.
Pada saat yang sama, kapasitas aparat penegak hukum harus diperkuat karena "lawan" makin besar. Integritas juga harus diperkuat. Jangan sampai peraturan MA tersebut justru digunakan sebagai alat transaksi baru yang akhirnya menjadi senjata tumpul dalam pembasmian korupsi.