Penyegelan masjid jemaat Ahmadiyah di Kelurahan Sawangan Baru, Depok, semestinya tidak boleh dilakukan. Selain tidak memiliki dasar hukum, langkah Pemerintah Kota Depok menutup paksa masjid yang berdiri sejak 2009 itu memperpanjang daftar tindakan sewenang-wenang aparat pemerintah terhadap kelompok ini.
Alasan yang digunakan untuk penyegelan yang keenam ini pun aneh. Pemerintah Depok tidak sedang melakukan "razia" perizinan rumah ibadah, yang jika dilakukan mungkin akan banyak ditemukan rumah ibadah dengan dokumen izin mendirikan bangunan (IMB) yang tak beres. Penyegelan dilakukan tiba-tiba karena permintaan segelintir orang yang merasa terusik oleh keberadaan masjid dan jemaat Ahmadiyah. Alasan yang patut disesalkan.
Mengakomodasi tuntutan seperti ini merupakan langkah mundur. Pemerintah Depok seharusnya berani melawan "tekanan" siapa pun jika permintaan tersebut melawan aturan yang ada. Apalagi tidak ada satu pun aturan yang dilanggar pemilik masjid tersebut. Tuduhan bahwa masjid tak berizin juga tidak benar, karena bangunan tersebut telah memiliki IMB sejak 2007.
Penutupan rumah ibadah atas provokasi sekelompok orang yang terus saja terjadi sangat mengkhawatirkan. Sebelumnya, sejumlah masjid Ahmadiyah di berbagai daerah mengalami hal sama. Misalnya masjid Ahmadiyah di Pancor, Lombok Timur, dan di Parakan Salak, Sukabumi.
Bukan hanya jemaat Ahmadiyah yang tempat ibadahnya "disegel". Hal yang sama dialami kelompok minoritas lainnya. Gereja Kristen Indonesia Yasmin di Kota Bogor, misalnya, disegel sejak Maret 2011 hingga sekarang. Demikian juga Gereja Huria Kristen Batak Protestan Filadelfia Bekasi, yang dibekukan sejak 2003.
Para kepala daerah yang semestinya melindungi seluruh warganya seperti tak berdaya menghadapi sejumlah orang yang mengklaim sebagai wakil umat Islam. Pemerintah benar-benar mengabaikan konstitusi yang menegaskan bahwa setiap warga negara memiliki kebebasan memeluk agama apa pun dan menjalankan ibadah sesuai dengan agama itu. Kepala daerah semestinya memiliki nyali melawan tekanan tersebut.
Munculnya peluang mempersoalkan rumah-rumah ibadah juga tak lepas dari beleid Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat. Aturan ini tak memberi porsi yang adil bagi penganut agama minoritas karena, misalnya, pembangunan rumah ibadah wajib mendapat izin tanda tangan dari 60 warga setempat.
Tak ada jalan lain. Agar kasus seperti di Depok, Sukabumi, dan Bekasi itu tak terjadi lagi, pemerintah harus tegas menolak siapa pun yang menginginkan rumah ibadah ditutup. Selain itu, Peraturan Bersama Menteri Nomor 9/2006 perlu direvisi. Tanpa hal itu, penyegelan atau perusakan rumah ibadah akan terus terjadi.