Soeharto tak pernah benar-benar pergi meninggalkan kita. Sabtu lalu, dalam suasana pemilihan kepala daerah DKI Jakarta putaran kedua, di Masjid At-Tin, Taman Mini Indonesia Indah, presiden kedua Indonesia itu menjadi komoditas politik yang ditawarkan.
Memperingati 51 tahun Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), bersama sejumlah ulama, dua anak mantan presiden itu-Siti Hediati dan Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto-menggelar salawat dan zikir bersama seraya "memaklumatkan" sebuah "aliansi" baru: mereka berdua, Prabowo Subianto-mantan menantu Soeharto yang kini memimpin Partai Gerindra-dan pasangan calon Gubernur-Wakil Gubernur Jakarta, Anies Baswedan-Sandiaga Uno.
Sebelumnya, Siti Hediati dan Siti Hutami Endang Adiningsih-putri bungsu Soeharto-juga memproklamasikan dukungan mereka kepada pasangan Anies-Sandi. Dengan segala konsekuensinya-tidak populer di kalangan proreformasi-Anies dan Sandi jelas sudah memperhitungkan keuntungan politik meminta dukungan Keluarga Cendana menghadapi putaran kedua pilkada Jakarta.
Munculnya Keluarga Cendana di panggung politik tentu tak dilarang. Hanya, perlu diingat bahwa Soehartoisme yang otoriter, paternalistis, dan serba sentralistis itu adalah masa lalu. Kembali ke era tersebut merupakan kemunduran bagi demokrasi Indonesia. Anies-Sandi tentu sadar: tak ada yang gratis dalam politik. Jika kelak mereka menang dalam pilkada, publik akan mengingat bahwa kemenangan itu juga berkat dukungan Keluarga Cendana. Dengan demikian, Cendana pun akan memetik keuntungan secara politik.
Kita tahu, ada nostalgia yang kerap membuat banyak orang rindu akan stabilitas yang dibangun Soeharto dulu. Munculnya "raja-raja kecil" di daerah pasca-era otonomi, kebebasan berekspresi yang anarkistis, semuanya itu membuat sejumlah orang "menengok" kembali ke masa lalu: zaman Pak Harto. "Politik nostalgia lebih enak era Soeharto" telah memberikan tempat bagi para aktor politik lama untuk tampil kembali-termasuk putra-putri Soeharto. Padahal kita tahu bahwa era Soeharto telah meninggalkan sedemikian banyak pekerjaan yang hingga kini belum terselesaikan: dari masalah hak asasi manusia hingga korupsi.
Kembalinya Keluarga Cendana ke panggung politik nasional juga memperlihatkan bahwa oligarki tumbuh bersama demokrasi di Indonesia. Tommy Soeharto, yang kini muncul di panggung politik, bukan tak mungkin kelak, dalam Pemilu 2019 misalnya, menjadi salah satu calon "pemimpin nasional".
Memang, tak ada yang salah dalam hal ini. Namun hal tersebut menunjukkan terjadinya "sirkulasi" tak sehat dalam kepemimpinan kita. Tapi tak adil jika dosa atas keadaan ini semata ditimpakan pada "trah" Cendana. Partai-partai produk reformasi kini juga melakukan hal yang sama. Dinasti politik terjadi, menyingkirkan kader-kader yang merangkak dari bawah. Kita bisa melihat gejala ini, misalnya, pada Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau Partai Demokrat. Semua ini pada akhirnya akan membuat kita bertanya: Indonesia milik elite ataukah rakyat yang berbondong-bondong ke bilik suara menentukan pilihan mereka?