Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Sesat Pikir Lembaga Penyiaran Khusus  

image-profil

image-gnews
Iklan

Muhamad
Heychael Direktur Remotivi

Dua rezim terakhir pemerintah yang berkuasa selalu merasa menjadi korban ketidakadilan media. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo pernah melontarkan kritik kepada pemberitaan stasiun televisi ("Perbedaan Jokowi, SBY, dan Prabowo dalam Menyikapi Kritik Media", Republika.co.id: 2014). Keduanya berasal dari dua partai yang tidak "memiliki" televisi. Meski Surya Paloh, pemilik Metro TV, adalah pendukung rezim berkuasa saat ini, sebagian besar pemilik televisi berada di luar lingkar kekuasaan. Dalam peta kepemilikan media yang demikian, rezim berkuasa memang rentan menjadi target kritik oposisi politik yang menguasai media. Saya menduga inilah latar belakang revisi Undang-Undang Penyiaran, yang salah satu butirnya memuat konsep "Lembaga Penyiaran Khusus".

Hasil rumusan revisi Dewan Perwakilan Rakyat atas UU Penyiaran yang tertuang dalam draf 7 Desember 2016 mendefinisikan lembaga penyiaran khusus sebagai lembaga penyiaran yang dimiliki kementerian, TNI/Polri, dan partai politik (Pasal 1 ayat 15 dan Pasal 103 ayat 2c). Tujuannya jelas, dengan memberikan ruang bagi pemerintah dan partai politik untuk memiliki lembaga penyiaran sendiri, pemerintah maupun partai politik bisa mengetengahkan program-programnya kepada publik luas sekaligus menangkis kritik media terhadap kinerja pemerintah ataupun partai. Ini jelas sesat pikir.

Jika masalahnya adalah siaran televisi yang tidak adil dalam merepresentasikan berbagai kepentingan politik yang ada, semestinya yang diatur dalam revisi UU Penyiaran adalah persoalan monopoli kepemilikan dan penegakan prinsip keberimbangan dalam pemberitaan. Dua hal ini sesungguhnya telah diatur dalam UU Penyiaran yang sekarang berlaku. Namun, sayangnya, belum ditegakkan secara menyeluruh.

Memberikan kesempatan kepada pemerintah dan partai politik memiliki lembaga penyiaran sendiri tidak akan menyelesaikan masalah ketidakadilan representasi. Ini ibarat me-

nyelesaikan perang dengan menambah senjata yang beredar di medan perang. Akan lebih masuk akal apabila pemerintah dan DPR membuat rumusan yang lebih dapat diterapkan mengenai penyiaran program politik serta pembatasan kepemilikan media penyiaran.

Ada banyak cara yang bisa ditempuh. Kita bisa meminjam model pengaturan kepemilikan yang sudah diterapkan di beberapa negara demokrasi, seperti Inggris dan Amerika. Di Inggris, misalnya, dalam Communication Act 2003, iklan program politik yang disponsori partai politik di televisi dilarang sepenuh-

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

nya. Asumsinya, ranah publik tidak boleh digunakan untuk kepentingan privat. Sebagai gantinya, setiap partai politik diberi "waktu siar" dalam program berita dan talkshow di setiap televisi dengan durasi yang sama (Political Advertising, 2014). Dengan cara ini, berafiliasi atau tidak dengan pemilik media, setiap partai politik memiliki kesempatan yang sama.

Amerika menggunakan pendekatan yang berbeda. Partai politik boleh mensponsori program politik di televisi selama stasiun itu menyebutkan di awal dan akhir acara bahwa program tersebut disponsori partai tertentu. Selain itu, dalam Communication Act Code 47, stasiun televisi diwajibkan menjalankan prinsip equal opportunity (kesempatan yang setara). Salah satu bentuk aturannya adalah, bila calon kandidat politik diundang salah satu stasiun televisi untuk wawancara, lawan kandidat tersebut punya hak untuk meminta hal yang sama.

Inggris dan Amerika juga mengatur kepemilikan media penyiaran. Dalam aturan yang dikeluarkan Ofcom (The Office of Communications), regulator media di Inggris, disebutkan bahwa (1) orang yang telah memiliki grup perusahaan media cetak dengan market share mencapai 20 persen dilarang memiliki stasiun televisi, baik nasional maupun lokal; (2) televisi dan radio tidak boleh dimiliki orang atau badan hukum yang potensial menyebabkan adanya konflik kepentingan, seperti agensi iklan.

Pembatasan juga berlaku di Amerika. Menurut aturan FCC (Federal Communication Commission), kepemilikan media oleh orang atau badan hukum di Amerika tidak boleh melebihi 45 persen market share. Untuk menjamin terjaganya regulasi ini, FCC melakukan evaluasi setiap tiga tahun sekali terhadap kepemilikan media.

Bagaimana dengan di Indonesia? Pasal 18 UU Penyiaran menyatakan bahwa kepemilikan media dibatasi dan mengamanatkan kepada pemerintah untuk membuat aturan turunannya. Persoalannya, hingga kini pemerintah tidak pernah mengeluarkan aturan rinci tersebut. Akibatnya, sejak 2002, konsolidasi kepemilikan media terus terjadi. Jika DPR dan pemerintah memang hendak membenahi persoalan ini, yang perlu dilakukan adalah membuat kerangka jelas mengenai batasan kepemilikan dan isi siaran media, terutama dalam kaitannya dengan program politik.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Rektor IAIN Ambon Bredel Pers Kampus

17 Maret 2022

Ilustrasi pembungkaman kebebasan berpendapat. Shutterstock.com
Rektor IAIN Ambon Bredel Pers Kampus

Rektor Institut Agama Islam Negeri atau IAIN Ambon membredel pers mahasiswa Lintas setelah media itu memberitakan dugaan kasus kekerasan seksual


Erdogan Ancam Media yang Memuat Berita Merusak Nilai Inti Negara

29 Januari 2022

Presiden Turki Tayyip Erdogan di Sochi, Rusia 29 September 2021. Sputnik/Vladimir Smirnov/Pool via REUTERS
Erdogan Ancam Media yang Memuat Berita Merusak Nilai Inti Negara

Presiden Tayyip Erdogan mengancam media Turki yang menyebarkan konten merusak nilai-nilai inti negara.


26 Tahun Pembredelan, Pendiri Tempo Bicara Pers Dulu dan Sekarang

22 Juni 2020

WS Rendra pada protes pembredelan TEMPO, EDITOR dan DETIK di depan Deppen, Jakarta, 1994. Dok.TEMPO/Robin Ong
26 Tahun Pembredelan, Pendiri Tempo Bicara Pers Dulu dan Sekarang

Peristiwa 26 tahun lalu itu masih segar dalam ingatan Harjoko Trisnadi, pendiri Tempo.


25 Tahun Pembredelan Tempo, Sejarah Pers Melawan Pemberangusan

21 Juni 2019

Pemred Majalah Tempo, Arif Zulkifli (tengah), mengacungkan jempol setelah memberikan klarifikasi kepada massa Front Pembela Islam (FPI) yang berdemo di depan Kantor TEMPO Media Grup, Jakarta, 16 Maret 2018. Massa FPI memprotes sebuah kartun yang ditayangkan majalah Tempo edisi 26 Februari 2018. TEMPO/Subekti.
25 Tahun Pembredelan Tempo, Sejarah Pers Melawan Pemberangusan

Sejak terbit kembali pada 1998, Tempo berkomitmen untuk terus menjadi watchdog demokrasi dan hak asasi manusia, apapun risiko dan penghalangnya.


Kebebasan Pers di Indonesia

11 Februari 2018

Presiden Jokowi (kanan) mewawancarai wartawan senior Yusri Nur Raja Agam (kiri) saat peringatan puncak Hari Pers Nasional 2018 di Padang, 9 Februari 2018. Presiden mengatakan pers semakin diperlukan di tengah kemajuan teknologi digital. ANTARA/Iggoy el Fitra
Kebebasan Pers di Indonesia

Kebebasan pers di Indonesia lahir setelah Orde Baru tumbang pada 1998. Kebebasan Pers diatur dalam UU No. 40/1999 tentang Pers.


Beban Pajak Tinggi, Harian Independen Kamboja Ditutup

4 September 2017

Kantor koran The Cambodia Daily di Phnom Penh, Kamboja. REUTERS/Samrang Pring
Beban Pajak Tinggi, Harian Independen Kamboja Ditutup

The Cambodia Daily, harian berbahasa Inggris di Kamboja terpaksa ditutup karena diperintahkan membayar pajak sangat tinggi


Pembredelan Pers 23 Tahun Lalu, Saran Menteri Mari'e ke Editor

21 Juni 2017

WS Rendra pada protes pembredelan TEMPO, EDITOR dan DETIK di depan Deppen, Jakarta, 1994. Dok.TEMPO/Robin Ong
Pembredelan Pers 23 Tahun Lalu, Saran Menteri Mari'e ke Editor

Pada 21 Juni 1994, Presiden Soeharto membredel majalah Tempo, Editor dan tabloid Detik.


Peringatan 23 Tahun Pembredelan Tempo, `Awal Kegagalan Demokrasi`

21 Juni 2017

Penyair WS Rendra membaca puisi saat protes pembredelan TEMPO, EDITOR dan DETIK di depan Deppen, Jakarta, 1994. Dok. TEMPO/Robin Ong
Peringatan 23 Tahun Pembredelan Tempo, `Awal Kegagalan Demokrasi`

Pada 21 Juni 1994, Presiden Soeharto membredel majalah Tempo, Editor dan tabloid Detik. Tempo melawan, menggugat ke pengadilan.


Wikipedia Diblokir Pemerintah Turki

30 April 2017

Sejumlah wanita bersukacita sembari mengibarkan bendera Turki dan bendera bergambar Erdogan saat merayakan kemenangan Presiden Turki, Tayyip Erdogan dalam referendum, di Istanbul, Turki, 16 April 2017. REUTERS
Wikipedia Diblokir Pemerintah Turki

Pemerintah Turki mengatakan jika Wikipedia mengedit
kontennya, maka aksesnya akan dipulihkan.


Jurnalis TV di Samarinda Mengaku Diancam Saat Liputan

11 Maret 2017

Rizky wartawan televisi Samarinda, Kalimantan Timur melapor ke Polsek Samarinda Ilir atas perlakuan pelarangan liputan dan intimidasi oleh sekelompok orang, 11 Maret 2017. TEMPO/Firman Hidayat
Jurnalis TV di Samarinda Mengaku Diancam Saat Liputan

Rizki mengaku sekelompok orang yang menghalanginya berasal dari ormas tertentu.