Negara sebagai penguasa hajat hidup orang banyak harus lebih serius dengan target 100 persen akses air bersih pada 2019. Bagian dari Nawacita pemerintah Presiden Joko Widodo dan wakilnya, Jusuf Kalla, ini bisa jadi cuma isapan jempol.
Tengoklah Jakarta yang merupakan ibu kota negara. Masalah tak hanya terjadi di wilayah utara, kawasan yang banyak warganya masih harus membeli air. Berdasarkan data penelitian Amrta Institute pada Januari lalu, ketergantungan masyarakat Jakarta pada air tanah masih sangat besar, yaitu 63-65 persen per tahun. Padahal air tanah bukanlah air bersih, karena faktor kontaminasi bakteri ataupun kandungan lainnya, seperti garam.
Menurut versi Perusahaan Daerah Air Minum Jakarta (PAM Jaya), defisit pasokan air bersih di Jakarta sekitar 4.000 liter per detik dari kebutuhan air yang mencapai 26.100 liter per detik. Mungkinkah defisit ini dipenuhi dalam dua tahun ke depan?
Jawabannya bisa dibayangkan dengan menyimak pengumuman operator air Palyja pada akhir tahun lalu. Mereka menyatakan telah meresmikan jaringan pipa baru di kawasan Muara Baru, Jakarta Utara, sejauh 1,9 kilometer. Hal ini, kata mereka, merupakan rencana yang sudah dibuat sejak empat tahun sebelumnya.
Proyek Muara Baru memang berdampak terhadap warga RW 17, Muara Baru; RW 03, Luar Batang; dan RW 08, Lodan. Tapi bandingkan hal itu dengan 65 persen populasi Jakarta, yang mencapai sekitar 10 juta jiwa, yang hingga saat ini belum tersentuh sama sekali oleh layanan air bersih.
Cakupan 35 persen itu pun belum menghitung tingkat kebocoran yang tinggi, sementara laju perbaikan hanya ditargetkan 2 persen pada tahun ini oleh masing-masing dari dua operator. Atau, masalah yang diungkap Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia lewat survei di enam kota dan kabupaten pada tahun lalu bahwa pemanfaatan air PDAM oleh masyarakat terutama hanya untuk mandi-cuci-kakus, sedangkan yang kedua untuk mencuci kendaraan serta menyiram.
Masyarakat menggunakan sumber air lain lantaran belum percaya terhadap kualitas air PDAM untuk dikonsumsi. Alasannya beragam: air berbau (38,10 persen), berwarna (14,29 persen), dan berasa (9,52 persen). Hal ini seperti menegaskan bahwa kualitas, bukan hanya kuantitas, air baku terus turun.
Peringatan Hari Air Sedunia yang kita rayakan hari ini sudah sepatutnya mengingatkan kembali bahwa masih banyak masyarakat belum bisa menikmati air bersih. Selain itu, menggunungnya pekerjaan rumah yang harus diselesaikan untuk bisa menciptakan akses air bersih yang berkeadilan dan berkualitas. Perlu tekad yang besar pula untuk merealisasinya karena, di banyak tempat, kendala biaya kerap menjadi alasan pertama di depan persoalan regulasi perihal tambahan pasokan air baku.
Adapun tema kampanye pengelolaan air limbah pada tahun ini bisa diterjemahkan sebagai upaya ekstra dari negara atau pemerintah untuk memperbaiki kualitas air dengan mengurangi pencemaran di sumber air baku. Pemerintah juga dituntut memangkas air limbah yang tak terolah dan menambah upaya menggunakannya kembali alias recycle. Bertambah berat, karena memang masalah air bersih sudah sepantasnya dipandang lebih serius. Bayangkan hal ini: volume air terbatas, sementara air harus mencukupi kebutuhan semakin banyak populasi manusia di kota-kota.