Memecat empat pegawai pencuri berkas permohonan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah Kabupaten Dogiyai, Papua, bukan akhir dari tanggung jawab Mahkamah Konstitusi (MK). Tim investigasi yang dibentuk harus menuntaskan tugasnya menemukan motif dan orang di belakang empat maling itu, yang paling berkepentingan terhadap hilangnya dokumen tersebut.
Raibnya berkas ini terungkap setelah panitera MK, dengan alasan tak jelas, meminta penasihat hukum pemohon--pasangan calon Markus Waine-Angkian Goo--membuat surat kuasa baru pada hari terakhir untuk melengkapi berkas, 8 Maret lalu. Sikap MK yang menutup-tutupi kejadian ini sangat disayangkan. Apalagi dengan membantah kehilangan dokumen, yang akhirnya harus diakui Ketua MK Arief Hidayat melalui konferensi pers pada Rabu lalu.
Pencurian dokumen ini tak boleh disepelekan. Berkas permohonan merupakan dokumen penting dan rahasia yang menentukan jalannya perkara. Yang lebih bernilai lagi adalah informasi yang dikandungnya, yang menurut Pasal 31 Undang-Undang MK harus memuat dasar permohonan serta hal-hal yang diminta untuk diputus, juga disertai alat bukti yang mendukung permohonan. Informasi ini sangat penting bagi pihak yang beperkara.
Mengapa berkas ini dicuri, dan siapa dalangnya, menjadi tugas tim investigasi MK dan kepolisian untuk mengusutnya. Bagi MK, pengungkapan dalang pencurian ini dan sejauh mana keterlibatan orang dalam MK menjadi awal upaya pembersihan tubuh lembaga negara itu dari tudingan sebagai sarang mafia peradilan. Untuk mengembalikan marwah MK sebagai pengadil yang pamungkas dan tepercaya, pembersihan ini harus dilakukan di seluruh lini, dari pegawai rendah hingga hakim konstitusi.
Pencurian dokumen ini bisa jadi satu dari sekian puncak gunung es praktek mafia peradilan di MK. Kasus suap hakim konstitusi Patrialis Akbar, yang diberhentikan dengan tidak hormat, beberapa waktu lalu, merupakan contoh lainnya. Tepat juga jika dorongan kepada Ketua Mahkamah Agung agar melibatkan KPK dalam pemberantasan mafia peradilan ditujukan pula kepada Ketua MK.
Pembenahan sistem pengamanan dokumen merupakan pekerjaan MK selanjutnya. Tempat penyimpanan itu semestinya memiliki pengamanan dengan otorisasi berlapis. Penyimpanan juga harus menerapkan akses terbatas, sehingga orang yang tidak berkepentingan--seperti pegawai eselon IV yang menjabat kepala sub-bagian humas yang tidak punya sangkut-paut pekerjaan dengan bidang kepaniteraan--tidak dapat masuk, apalagi mengambil dokumen.
Peninjauan ulang penanganan perkara, dari pendaftaran hingga putusan, juga perlu dilakukan. Evaluasi itu dibutuhkan untuk menemukan titik lemah setiap tahapan proses. Terhadap petugas yang terlibat di setiap tahapan pun perlu dilakukan evaluasi dan rotasi untuk memutus jaringan yang telah terbentuk. Kejahatan dapat terjadi karena ada kesempatan pelaku memanfaatkan celah.