Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Perempuan dan Jebakan Oligarki Partai  

image-profil

image-gnews
Iklan

Yolanda Panjaitan
Pengajar FISIP Universitas Indonesia

Dalam proses pembahasan Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilihan Umum yang berlangsung saat ini, terdapat dorongan untuk mengembalikan sistem pemilihan umum tertutup menjadi terbuka terbatas. Rancangan usulan pemerintah yang disampaikan dengan amanat presiden pada 20 Oktober 2016 ini memuat sistem terbuka terbatas dengan penentuan calon terpilih berdasarkan nomor urut. Usulan sistem ini kemudian mendapat dukungan dari fraksi-fraksi besar, yaitu PDIP dan Golkar. Apa implikasinya bagi keterpilihan perempuan jika sistem ini benar-benar diadopsi?

Pertama, partai sebenarnya tidak memiliki desain yang jelas, sistematis, dan terpadu untuk mendorong keterpilihan perempuan dalam pemilihan umum (lihat Paradoks Representasi Politik Perempuan, 2013). Melihat pengalaman para perempuan calon legislator, dapat dikatakan bahwa peningkatan keterpilihan mereka dalam Pemilihan Umum 2009 dan 2014 bukan disebabkan dorongan partai, tapi hasil kerja keras individu yang didorong organisasi kelompok masyarakat sipil yang bergiat di basis akar rumput.

Ironisnya, walaupun para perempuan bisa memenangi pertarungan elektoral tanpa dukungan maksimal partai, setelah terpilih, mereka tetap harus tunduk pada agenda kebijakan partai yang tidak selalu sejalan dengan isu-isu perempuan dan kesejahteraan. Akibatnya, banyak legislasi pro-perempuan dan pro-kesejahteraan rakyat sulit diperjuangkan. Contohnya, RUU Pekerja Rumah Tangga, RUU Penempatan Buruh Migran, dan amendemen UU Perkawinan.

Kedua, partai mencalonkan perempuan sekadar untuk memenuhi syarat administrasi pemilu. Partai tidak sungguh-sungguh memikirkan penempatan perempuan di daerah pemilihan yang dipilih karena merupakan basis partai atau daerah asal/domisili perempuan calon legislator itu. Hal ini terlihat dari pemindahan mereka dari daerah pemilihan pada Pemilu 2009 ke daerah lain yang bukan basisnya saat Pemilu 2014. Rieke Diah Pitaloka, misalnya, dipindahkan dari daerah pemilihannya lantaran daerah itu diperuntukkan elite pimpinan partai.

Selain itu, tidak sedikit perempuan calon legislator yang dimanfaatkan sebagai vote-getter bagi partai. Hasil pemilu DPR RI 2014 menunjukkan suara yang diraih semua perempuan calon legislator sebesar 23,31 persen, sementara kursi perempuan terpilih di DPR hanya 17,3 persen (Puskapol UI, 2014). Jumlah sisa suara yang mereka peroleh tidak cukup untuk merebut kursi yang belum terisi. Setelah mendulang suara, kursi hasil konversi (akumulasi dari beberapa sisa suara) tersebut diberikan kepada calon di nomor-nomor urut atas yang biasanya laki-laki.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ketiga, buruknya mekanisme rekrutmen dalam partai politik. Sebagian perempuan yang terpilih menjadi anggota legislatif di pusat dan daerah adalah kepanjangan dari oligarki partai, seperti istri, anak, atau kerabat dari pengurus partai. Data Puskapol UI tentang hasil Pemilu 2014 memperlihatkan, dari total anggota terpilih DPR RI yang berasal dari kalangan kekerabatan elite politik, proporsi perempuan hampir seimbang dengan laki-laki: dari 77 anggota yang teridentifikasi memiliki jaringan kekerabatan, 53 persen adalah laki-laki (41 orang) dan 47 persen adalah perempuan (36 orang). Dengan demikian, kebijakan afirmasi digunakan partai semata untuk memperkuat lingkar kekuasaannya dalam lembaga legislatif dengan menempatkan perempuan dari kalangan kerabat elite politik.

Keempat, partai tidak paham esensi kebijakan afirmasi dan pengarusutamaan gender. Afirmasi dipahami sebatas pencalonan 30 persen perempuan, yang dimaknai sebagai identitas tubuhnya dan bukan gendernya. Partai tidak melihat lebih jauh kriteria perempuan yang dicalonkan, kapasitas yang dimiliki, dan potensi yang dihadirkan untuk bisa mencapai tujuan lebih besar, yaitu melakukan transformasi kebijakan.

Kesimpulannya adalah masalah representasi politik di Indonesia berakar pada permasalahan dalam partai politik. Permasalahan representasi perempuan juga berakar dari persoalan di dalam partai politik. Kondisi partai yang carut-marut dalam hal rekrutmen kader dan calon legislator, tidak adanya demokrasi internal, serta minimnya keberpihakan pada isu-isu kelompok marginal dan perempuan membuat upaya mengembalikan sistem tertutup ke dalam UU Pemilu akan melanggengkan masalah mendasar dalam partai politik kita.

Bagi para perempuan yang berkontestasi di arena elektoral, ketimpangan relasi kuasa hanya akan membuat mereka jatuh ke dalam jebakan oligarki dan sekadar menjadi kepanjangan tangan politik maskulin semata. Dalam kondisi partai yang sangat elitis dan tidak demokratis, sistem pemilu proporsional tertutup hanya akan memberikan kesempatan bagi elite partai memegang kendali penuh proses rekrutmen dan penentuan calon legislator.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Pertimbangan MK Soal Penetapan Besaran Persentase Ambang Batas Parlemen

55 hari lalu

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo memimpin sidang putusan gugatan ulang batas usia capres cawapres di Ruang Sidang Lantai 2, Gedung I MK, Jakarta, Rabu, 29 November 2023. Dengan ditolaknya gugatan ulang tersebut membuat Gibran Rakabuming Raka tetap dapat menjadi cawapres dalam Pilpres 2024. TEMPO/Joseph
Pertimbangan MK Soal Penetapan Besaran Persentase Ambang Batas Parlemen

Menurut MK, ambang batas parlemen berdampak pada konversi suara sah menjadi jumlah kursi DPR yang terkait dengan proporsionalitas hasil pemilu.


Perludem Nilai RUU Pemilu Masih Berpeluang Dibahas

10 Maret 2021

Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini. Dok.TEMPO/Eko Siswono Toyudho
Perludem Nilai RUU Pemilu Masih Berpeluang Dibahas

RUU Pemilu masih berpeluang dibahas DPR dan pemerintah karena masuk dalam daftar panjang Prolegnas kendati tak ada di pembahasan 2021.


DPR dan Pemerintah Sepakat Keluarkan RUU Pemilu dari Prolegnas 2021

9 Maret 2021

Supratman Andi Agtas, Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Hanura. TEMPO/Dhemas Reviyanto
DPR dan Pemerintah Sepakat Keluarkan RUU Pemilu dari Prolegnas 2021

Delapan fraksi menyatakan setuju RUU Pemilu ditarik dari daftar Prolegnas Prioritas 2021 dan hanya Fraksi Partai Demokrat yang meminta tetap dibahas.


Pemerintah dan DPR Sepakat Cabut RUU Pemilu dari Prolegnas Prioritas

9 Maret 2021

Warga menunjukkan jarinya yang telah dicelupkan ke tinta usai mencoblos pada Pemungutan Suara Ulang (PSU) di TPS 09 Kelurahan Duyu, Palu, Sulawesi Tengah, Sabtu, 27 April 2019. PSU di Palu dilakukan di 13 TPS yang tersebar di lima kecamatan dan dilakukan serentak pada 27 April 2019. ANTARA
Pemerintah dan DPR Sepakat Cabut RUU Pemilu dari Prolegnas Prioritas

Yasonna Laoly menyatakan pemerintah menyepakati pencabutan RUU Pemilu dari daftar Prolegnas Prioritas 2021.


Pastikan Tarik RUU Pemilu dari Prolegnas, Baleg DPR: Revisi UU ITE Lihat Nanti

9 Maret 2021

Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Willy Aditya ditemui di Hotel Mulia, Senayan, Jakarta, Jumat, 21 Agustus 2020. TEMPO/Budiarti Utami Putri.
Pastikan Tarik RUU Pemilu dari Prolegnas, Baleg DPR: Revisi UU ITE Lihat Nanti

Willy Aditya memastikan bahwa Komisi II DPR RI telah menarik Rancangan Undang-Undang atau RUU Pemilu dari daftar prolegnas


Fraksi PAN Tolak 3 RUU Masuk Prolegnas 2021

9 Maret 2021

Ketua DPR Puan Maharani membacakan pidato pada Rapat Paripurna ke-11 Pembukaan Masa Persidangan III Tahun Sidang 2020-2021 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 11 Januari 2021. ANTARA/Dhemas Reviyanto
Fraksi PAN Tolak 3 RUU Masuk Prolegnas 2021

Penetapan Prolegnas Prioritas 2021 sudah lama mundur karena belum diambil Keputusan Tingkat II dalam Rapat Paripurna DPR.


Hasil Rapimnas, Golkar Tolak Revisi UU Pemilu

6 Maret 2021

Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto (kedua kanan) berbincang dengan Wakil Ketua Umum Azis Syamsuddin (kanan), Sekretaris Jenderal Lodewijk Freidrich Paulus (kedua kiri), Bendahara Umum Dito Ganinduto (kiri) saat Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Golkar di DPP Partai Golkar, Jakarta, Jumat 5 Maret 2021. Rapimnas yang bertemakan 'Golkar Optimis Indonesia Sehat dan Sejahtera' tersebut membahas strategi pemenangan pemilihan Presiden (Pilpres), Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan juga Pemilihan Legislatif (Pileg) pada 2024. ANTARA FOTO/Galih Pradipta
Hasil Rapimnas, Golkar Tolak Revisi UU Pemilu

Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto mengatakan pilihan itu diambil untuk menjaga stabilitas politik.


Tolak Revisi UU Pemilu, PAN: Usulan PDIP Belum Tentu Cocok dengan Partai Lain

24 Februari 2021

Warga memasukkan jarinya ke dalam tinta usai Pemungutan Suara Ulang (PSU) di Jalan Cempaka Putih, Ciputat Timur, Tangerang Selatan, Rabu, 24 April 2019. Pemilu ulang tersebut dilakukan kembali karena pada pemungutan suara 17 April lalu terdapat pemilih pemegang form A5 yang mencoblos 5 surat suara. TEMPO / Hilman Fathurrahman W
Tolak Revisi UU Pemilu, PAN: Usulan PDIP Belum Tentu Cocok dengan Partai Lain

PAN menolak revisi UU Pemilu. Menurut PAN, revisi akan menguras energi.


PPP Tak Setuju Pembahasan Revisi UU Pemilu dan UU Pilkada Dipisah

23 Februari 2021

Warga menunjukkan jarinya yang telah dicelupkan ke tinta usai mencoblos pada Pemungutan Suara Ulang (PSU) di TPS 09 Kelurahan Duyu, Palu, Sulawesi Tengah, Sabtu, 27 April 2019. PSU di Palu dilakukan di 13 TPS yang tersebar di lima kecamatan dan dilakukan serentak pada 27 April 2019. ANTARA
PPP Tak Setuju Pembahasan Revisi UU Pemilu dan UU Pilkada Dipisah

PPP mengatakan pembahasan revisi UU Pemilu harus satu paket dengan UU Pilkada.


Seperti PDIP, Fraksi PKB Setuju Revisi UU Pemilu Tanpa Normalisasi Pilkada

23 Februari 2021

Warga memasukkan jarinya ke dalam tinta usai Pemungutan Suara Ulang (PSU) di Jalan Cempaka Putih, Ciputat Timur, Tangerang Selatan, Rabu, 24 April 2019. Pemilu ulang tersebut dilakukan kembali karena pada pemungutan suara 17 April lalu terdapat pemilih pemegang form A5 yang mencoblos 5 surat suara. TEMPO / Hilman Fathurrahman W
Seperti PDIP, Fraksi PKB Setuju Revisi UU Pemilu Tanpa Normalisasi Pilkada

Fraksi PKB di DPR menyetujui revisi UU Pemilu. Namun, mereka tak ingin ada normalisasi Pilkada 2022 dan 2023.