Putusan Mahkamah Konstitusi mencabut wewenang Menteri Dalam Negeri membatalkan peraturan daerah bermasalah patut disesalkan. Selama ini wewenang Mendagri dianggap sebagai terobosan dalam membersihkan perda yang menghambat jalannya birokrasi dalam urusan investasi, pajak, dan retribusi. Akibatnya, Mendagri tak lagi punya pegangan hukum ketika akan membatalkan perda yang menabrak peraturan lebih tinggi.
Itulah yang semestinya dijadikan pertimbangan MK dalam memutus perkara pada dua hari lalu. Sebab, wewenang Mendagri membersihkan perda bermasalah secara cepat sejauh ini masih dibutuhkan. Apa boleh buat, Mendagri kini tidak berwenang mencabut perda bermasalah. Wewenang pembatalannya telah beralih ke Mahkamah Agung.
Bisa dibilang, sikap majelis hakim MK gamang dan terbelah. Empat dari delapan hakim menyatakan tidak setuju atau dissenting opinion. Artinya, hakim berbeda pendapat dalam menyikapi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, khususnya Pasal 251 yang selama ini menjadi pegangan Mendagri dalam membatalkan perda bermasalah.
Bagaimanapun, putusan MK yang mengikat itu harus dijalankan. Proses pembatalan perda bermasalah selanjutnya hanya bisa ditempuh lewat dua jalur, yaitu uji materi (judicial review) ke Mahkamah Agung dan melalui mekanisme di legislatif. Mekanisme legislatif maksudnya: pemerintah daerah bersama DPRD menyusun perda baru menggantikan perda bermasalah.
Proses uji materi jelas tidak semudah ketika Mendagri mencoret perda yang dianggap ganjil. Proses di MA bisa sangat lama karena banyak kasus menumpuk. Apalagi jika nantinya ditambah ribuan perda bermasalah yang satu per satu menunggu giliran sidang. Yang jelas, dalam tata cara ke MA, Mendagri harus mengadukan lebih dulu perda mana yang dikategorikan bermasalah.
Jumlah perda bermasalah memang bejibun. Lembaga swadaya masyarakat Setara Institute mencatat ada 2.246 perda yang dicabut selama 2002-2009. Pada 2010-2014, sebanyak 1.502 perda sejenis dianulir. Tahun lalu, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo membatalkan 3.143 perda error. Begitu banyak perda telah dibatalkan dan seolah-olah hilang satu tumbuh seribu.
Munculnya perda bermasalah tak lepas dari proses penyusunannya, yang di antaranya minim melibatkan publik, bahkan tanpa kajian komprehensif. Tak sedikit pula perda "titipan" yang disusun sekadar menuruti keinginan konstituen sebagai kompensasi janji anggota legislatif ataupun kepala daerah saat berkampanye. Modus ini sudah bertahun-tahun berlangsung.
Jika demikian adanya, semestinya pemerintah pusat serius terlibat dalam proses pembahasan rancangan perda. Penyusunan perda merupakan ranah executive review atau kewenangan pemerintah, yang memastikan sebuah perda tidak bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi. Hal ini mesti dilakukan sebelum disahkan, bukan beraksi setelah perda itu selesai.