Dugaan adanya praktik politik uang yang dilakukan secara masif menjelang pemungutan suara pemilihan Gubernur DKI Jakarta, yang akan berlangsung besok, harus diselesaikan dengan cepat. Penyelenggara pemilihan harus sigap mengungkap aktor di balik dugaan praktik kotor tersebut. Laku itu menodai jalannya pemilihan kepala daerah yang jujur, adil, dan demokratis.
Ahad lalu, Badan Pengawas Pemilu DKI Jakarta memperoleh laporan adanya dugaan politik uang dalam bentuk penjualan bahan kebutuhan pokok dengan harga murah. Ada beragam modus, di antaranya dikemas dengan menggelar bazar dan pasar murah. Bahan kebutuhan pokok itu dijual dengan harga miring dari Rp 50 ribu menjadi hanya Rp 5.000. Tujuannya, menarik simpati warga agar memilih pasangan calon tertentu.
Adapun dugaan pembagian berbagai bahan kebutuhan pokok berlangsung merata di seluruh Jakarta. Temuan dan laporan dugaan praktik politik uang dan pemberian barang mengarah ke dua pasangan kandidat. Langkah Badan Pengawas Pemilu menangkap orang yang diduga tengah menyebarkan brosur kampanye hitam dan membagikan bahan pokok di Jakarta Barat patut diapresiasi. Begitu juga polisi yang berhasil menahan mobil bermuatan bahan pokok yang diduga akan dibagikan oleh tim sukses salah satu kandidat.
Badan Pengawas Pemilu tak boleh ragu menjatuhkan sanksi tegas. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, Badan Pengawas Pemilu berwenang memberikan sanksi pidana tak hanya kepada si pemberi uang, tapi juga penerimanya. Badan ini juga berwenang mendiskualifikasi calon kepala daerah yang terbukti melakukan praktik politik uang.
Selain pelanggaran politik uang, ada sejumlah modus kecurangan yang patut diwaspadai dalam pilkada. Kecurangan ini bisa dilakukan oleh petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara saat hari pencoblosan. Mereka bisa berpihak kepada kandidat tertentu, lalu bersiasat mempengaruhi pemilih sebelum mencoblos atau mengutak-atik angka ketika penghitungan suara.
Modus kecurangan lain adalah intimidasi terhadap calon pemilih. Penyelenggara pemilihan harus bisa menjamin tak ada intimidasi terhadap masyarakat untuk memilih. Pesta demokrasi ini mesti bebas dari segala pengancaman. Warga Jakarta yang punya hak pilih bisa menggunakan haknya sesuai dengan hati nurani. Mereka bisa leluasa menggunakan hak politiknya karena memilih pemimpin merupakan hak warga negara yang dijamin konstitusi.
Berbagai praktik kotor dan menghalalkan segala cara untuk memenangi pilkada itu harus dicegah. Tugas mencegah kecurangan tentu bukan hanya tanggung jawab penyelenggara pemilihan dan Badan Pengawas Pemilu DKI Jakarta. Masyarakat juga harus ikut aktif mengawasi dari saat menjelang pencoblosan hingga penghitungan suara. Proses pemungutan suara yang jujur dan adil mesti menjadi komitmen semua pihak agar pilkada DKI tak berbuah sengketa dan huru-hara politik.