Siapa pun yang menang dalam pemilihan hari ini, Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022 menghadapi persoalan besar: polarisasi tajam di masyarakat. Dua bulan masa kampanye telah membelah publik menjadi dua kutub ekstrem yang melibatkan sentimen agama. Gubernur-wakil gubernur terpilih mesti berinisiatif memulihkan harmoni sosial agar mereka segera bisa menjalankan programnya dengan lancar.
Kubu pasangan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat dan Anies Rasyid Baswedan-Sandiaga Uno sama-sama memiliki andil dalam memanaskan suhu politik. Retorika, langkah politik, dan jargon kedua pasangan membuat publik terbelah. Pertentangan itu sangat berbahaya karena melibatkan soal agama dan ras yang sering kali menjadi bahan bakar konflik di masyarakat.
Harus dikatakan, pernyataan Basuki di Kepulauan Seribu tentang Surat Al-Maidah ayat 51 pada September tahun lalu telah membuka area sensitif. Ucapan itu memang tidak bisa digolongkan sebagai penghinaan terhadap agama Islam--seperti yang perkaranya kini disidangkan di pengadilan negeri. Tapi pernyataan yang terkesan "dimanfaatkan" betul oleh lawan-lawan politiknya itu telah menyeret pemilihan Gubernur DKI Jakarta lebih jauh ke politisasi agama.
Sejak putaran pertama, Anies-Sandi bergerak jauh ke "kanan". Mereka memanfaatkan forum dan tempat keagamaan demi keuntungan elektoral. Sedikit-banyak, pidato Al-Maidah ayat 51 Basuki memudahkan mereka berkonsolidasi. Mereka pun secara sadar memberi panggung kepada para tokoh yang memiliki riwayat intoleran. Pada titik yang lain, Basuki-Djarot berusaha bertahan dengan menempatkan diri sebagai "korban" kelompok-kelompok itu. Retorika "kebinekaan" merupakan bagian dari penempatan posisi ini.
Pemilihan putaran kedua menjadi penentu, strategi politik siapa yang lebih mangkus memenangi persaingan. Konsultan gubernur terpilih bisa jadi akan menepuk dada, membanggakan kemenangan kubunya. Lalu permainan politik selesai. Tapi perkubuan di masyarakat sudah pasti tak semudah itu berakhir. Di sinilah para calon, baik yang menang maupun yang kalah, berkewajiban memperbaiki situasi.
Hal pertama yang harus dilakukan adalah mengendalikan para pendukung. Tanggung jawab itu mesti dipikul bersama para pemimpin partai dan organisasi massa yang, entah untuk keperluan apa, mengerahkan anggotanya dari berbagai daerah ke Jakarta menjelang hari pemilihan. Padahal ini bukan perang, melainkan hanya sebuah proses politik lima tahunan, tempat publik mempertahankan atau mengakhiri kekuasaan gubernur inkumben.
Bagi pasangan pemenang, tanggung jawab merekatkan kembali masyarakat mesti dilanjutkan dengan perumusan kebijakan. Mereka adalah gubernur bagi semua masyarakat Jakarta, bukan hanya untuk para pemilihnya. Artinya, kebijakan yang mereka ambil seharusnya disusun dari aspirasi berbagai kelompok masyarakat. Dengan cara ini, ketegangan bisa dikurangi dan masyarakat diharapkan bisa rukun kembali.