Pemilihan Gubernur DKI Jakarta berlangsung bersih kemarin. Berdasarkan hitung cepat sejumlah lembaga survei, pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno menjadi pemenang, mengalahkan inkumben Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Syaiful Hidayat. Hasil pemilihan ini harus diterima dengan legawa oleh semua pihak, mulai dari pasangan calon, partai pendukung, sampai masyarakat pemilih.
Tak bisa dimungkiri, pemilihan Gubernur Jakarta ini telah membagi masyarakat Ibu Kota--juga warga Indonesia umumnya--menjadi dua kelompok, persis seperti ketika pemilihan presiden tiga tahun silam. Perang hujatan antarpendukung di media sosial begitu marak, dan itu harus berakhir dengan keluarnya pemenang pilkada ini.
Tantangan untuk Anies, yang akan dilantik menggantikan Ahok pada Oktober mendatang, adalah mempertahankan Jakarta sebagai barometer daerah dengan keberagaman dan toleransi yang tinggi. Hal ini perlu ditekankan karena, dalam perjalanan meraih dukungan, Anies mendekati kelompok intoleran, seperti Front Pembela Islam (FPI). Kita tentu tidak berharap tindakan main hakim sendiri dengan mengatasnamakan agama tumbuh subur di Jakarta, seperti penutupan tempat ibadah atau sweeping tempat hiburan dan penjaja minuman keras yang dilakukan secara sewenang-wenang oleh kelompok intoleran.
Pekerjaan besar lain adalah mengendalikan birokrasi besar pemerintahan DKI Jakarta. Rekam jejak Anies sangat kurang di ranah birokrasi meskipun ia pernah menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Perubahan sudah dilakukan Ahok sejak menggantikan Joko Widodo sebagai gubernur pada 2014. Misalnya lelang jabatan, pemberian tunjangan besar untuk pejabat, dan membersihkan birokrasi dari korupsi. Hal ini harus diteruskan Anies, meskipun bukan pekerjaan mudah.
Anies-Sandi harus bisa melanjutkan laju pembangunan yang sudah dijalankan Ahok. Dengan anggaran daerah Rp 70 triliun setahun, Ahok berhasil membuat mulus jalan sampai ke gang-gang, membangun taman di berbagai lingkungan padat, hingga menjamin warga miskin mendapat layanan kesehatan dan pendidikan.
Yang tak kalah penting adalah mewujudkan janji-janji selama kampanye, seperti rumah dengan DP nol persen bagi warga miskin atau penolakan reklamasi di perairan utara Jakarta yang sudah setengah jalan. Mewujudkan rumah murah di Jakarta bukanlah perkara mudah karena tingginya harga tanah serta terbatasnya lahan.
Sikap anti-reklamasi Anies akan berbenturan dengan kepentingan pengusaha yang sudah telanjur mengeluarkan modal triliunan. Tentu tidak bijak jika Anies serta-merta memutus kontrak begitu saja. Karena itu, gubernur baru Jakarta harus mencari win-win solution dalam urusan reklamasi ini. Pengusaha dan nelayan tidak dirugikan, lingkungan pun bisa diselamatkan.
Masyarakat Ibu Kota menunggu Anies-Sandi mewujudkan janji-janjinya dalam bentuk kerja nyata, bukan sekadar retorika dan kata-kata.