Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Korupsi dan Pembubaran Partai

image-profil

image-gnews
Korupsi dan Pembubaran Partai
Korupsi dan Pembubaran Partai
Iklan

Arya Budi
Research Fellow Departemen Politik dan Pemerintahan UGM

Tulisan ini dimaksudkan untuk menanggapi artikel Hifdzil Alim, "Pembubaran Partai" (Kompas, 20 Maret 2017), yang mempunyai argumen mirip dengan artikel Feri Amsari, "Pembubaran Partai Lintah" (Koran Tempo, 1 Mei 2013). Berangkat dari kasus korupsi yang menyerempet fungsionaris dan elite petinggi partai, termasuk yang terakhir adalah e-KTP, kedua penulis berpendapat bahwa korupsi bisa menjadi alasan pembubaran partai. Argumen mereka, partai politik perlu dibuat jera untuk menghindari perampokan uang negara oleh partai. Sebagai pemerhati hukum dan korupsi, tentu nalar hukum, seperti revisi aturan perundang-undangan dan revitalisasi peran Mahkamah Konstitusi, menjadi landasan penting bagi dua penulis tersebut.

Namun ide dan argumen mereka perlu ditanggapi, terutama dalam perspektif pelembagaan partai di Indonesia sebagai proses konsolidasi demokrasi. Ada dua hal penting mengapa ide dan argumen pembubaran partai karena korupsi elite perlu diluruskan. Pertama, apakah dengan membubarkan partai politik, elite dan para eks fungsionaris partai akan berhenti menjarah negara? Pertanyaan ini mengungkapkan bahwa pembubaran institusi akibat kejahatan personal adalah sebuah kegagapan. Jika efek jera atas kasus korupsi beberapa pengurusnya menyasar partai secara organisasi, para elite dan fungsionaris lainnya tidak akan kerepotan untuk sekadar mengubah nama, lambang, AD/ART, dan kelengkapan administratif pendaftaran partai baru karena jejaring politik yang telah terbangun.

Kedua, mungkinkah ide pembubaran partai karena korupsi oleh beberapa elite dan fungsionarisnya akan berakhir pada non-partisan state alias negara tanpa partai? Jika semua partai dibubarkan karena fungsionaris dan elite partai terbukti korupsi, parlemen akan terdiri atas 560 anggota yang berdiri sendiri.

Dalam konteks Indonesia, parlemen tanpa partai sangat mungkin akan bernasib seperti Konstituante pada akhir 1950-an, yang berakhir ricuh serta deadlock dan akhirnya dibubarkan Presiden Sukarno. Eksekutif atau lembaga kepresidenan mempunyai kekuasaan super yang berujung pada otoritarianisme akibat absennya institusi kepartaian.

Singkatnya, ide pembubaran partai atas kejahatan individual justru melenyapkan fungsi penting institusi partai di level parlemen/pemerintahan: konsolidasi politik. Sekalipun fungsi-fungsi partai politik berangsur diambil alih oleh lembaga konsultan, surveyor, organisasi kemasyarakatan, dan masyarakat sipil, fungsi konsolidasi bisa jadi adalah one of the most residual functions of political parties (Norris 2006: 89). Tanpa lembaga kepartaian, elite politik akan sulit terkonsolidasi dan kekacauan pemerintahan sangat mungkin terjadi.

Solusi atas maraknya kasus korupsi oleh para fungsionaris partai pemegang jabatan publik ini adalah penguatan kelembagaan partai, bukan membubarkannya. Kita memerlukan pembangunan lembaga, bukan penghancuran lembaga. Dari syarat-syarat pelembagaan partai yang dikonsepkan oleh banyak ilmuwan politik (seperti Randall dan Svasan, 2002; Mainwaring dan Torcal, 2005; atau Basedau dan Stroh, 2009), otonomi partai-keterlepasan partai dari seorang patron atau pihak di luar partai seperti para pengusaha-adalah sebuah prasyarat yang harus ada. Dalam hal ini, sumber pendanaan menjadi kunci otonomi partai.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Selama ini, partai bergantung pada dua sumber: oligarki dan politikus pemburu rente. Karena oligarki mempunyai sumber pendanaan yang melimpah dari kerajaan bisnisnya, partai tidak lagi otonom karena adanya seseorang atau sekelompok orang "pemegang saham" partai.

Di sisi lain, para fungsionaris partai diwajibkan menyetor ke organisasi. Artinya, semakin besar kontribusi politikus terhadap partai, semakin stabil atau naik posisi politiknya dalam kompetisi internal (intra-party politics). Kasus e-KTP baru-baru ini hanya salah satu contoh yang menjelaskan hal ini, selain kasus Hambalang di Partai Demokrat atau impor daging sapi di Partai Keadilan Sejahtera.

Artinya, satu hal yang penting untuk memenuhi aspek otonomi ini adalah subvention alias pembiayaan partai yang cukup oleh negara. Partai politik di Indonesia rentan terhadap potensi korupsi karena tidak adanya anggaran negara yang cukup berarti bagi berjalannya organisasi partai.

Pendanaan partai oleh negara pada dasarnya sudah dimulai pada 2000 sebesar Rp 1.000 per suara per tahun. Kemudian nilai itu direvisi pada 2005 menjadi Rp 21 juta per kursi per tahun. Lalu angka tersebut direvisi lagi pada 2010 menjadi Rp 108 per suara per tahun, yang bertahan hingga kini. Studi yang dilakukan Mietzner (2007) menyatakan bahwa pemangkasan anggaran untuk partai di Indonesia pada 2005 memperparah usaha-usaha yang dilakukan para politikus untuk mendapatkan dana negara secara ilegal.

Namun pembiayaan partai oleh negara masih "dicurigai" oleh kebanyakan orang. Padahal masuknya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ke institusi memberikan konsekuensi pada tuntutan atas transparansi dan akuntabilitas keuangan partai. Sanksi organisasi terhadap politikus partai yang korup sebenarnya terletak di sini: pemotongan alokasi dana partai, bukan pembubaran partai.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


KPK Arab Saudi Tangkap 241 Orang

16 Maret 2021

Ketua G20 Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz menyampaikan pidato mengikuti forum KTT Luar Biasa G20 secara virtual dari Riyadh, Arab Saudi, 26 Maret 2020. KTT ini menghasilkan kesepakatan bahwa seluruh negara di dunia terutama anggota G20 akan patungan dana hingga 4 miliar dolar AS atau setara Rp 64 triliun (kurs Rp 16.000 per dolar AS). Bandar Algaloud/Courtesy of Saudi Royal Court/Handout via REUTERS
KPK Arab Saudi Tangkap 241 Orang

Lembaga Pengawasan dan Antikorupsi Arab Saudi menangkap 241 orang, termasuk pegawai beberapa kementerian, atas dugaan korupsi


Kejaksaan Tinggi Riau Periksa 50 Saksi Korupsi Berjamaah APBD Pelalawan

31 Mei 2017

TEMPO/Fahmi Ali
Kejaksaan Tinggi Riau Periksa 50 Saksi Korupsi Berjamaah APBD Pelalawan

Kejaksaan Tinggi Riau tengah mendalami dugaan korupsi berjemaah dana tak terduga pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Pelalawan 2012.


KPK Tegaskan Tak Butuh Revisi UU Nomor 30 Tahun 2002

17 Maret 2017

Sejumlah massa dari Koalisi Masyarakat Sipil dan Seniman berunjuk rasa di depan gedung DPR, Jakarta, 17 Februari 2016. Dalam aksinya, mereka mendesak Presiden Joko Widodo untuk menolak pembahasan Revisi UU KPK bersama dengan DPR dan menariknya dalam prolegnas 2015-2019. TEMPO/Aditia Noviansyah
KPK Tegaskan Tak Butuh Revisi UU Nomor 30 Tahun 2002

uru bicara KPK, Febri Diansyah, mengatakan lembaganya tidak membutuhkan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi


Kasus E-KTP, Dua Berkas Setebal 2,6 Meter Dilimpahkan

1 Maret 2017

Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK Taufiq Ibnugroho membawa masuk berkas-berkas perkara dugaan korupsi pengadaan proyek e-KTP ke Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta Pusat, 1 Maret 2017. Tempo/Zara Amelia
Kasus E-KTP, Dua Berkas Setebal 2,6 Meter Dilimpahkan

Jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi menyerahkan dua berkas dugaan korupsi e-KTP kepada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta hari ini.


Korupsi, Adik Ipar Raja Spanyol Divonis Bersalah

18 Februari 2017

Raja Spanyol Felipe dan Ratu Letizia, bersama dengan dua anak perempuannya Putri Leonor dan Putri Sofia saat menuju lokasi sesi foto di di kebun Istana Marivent di Palma de Mallorca, Spanyol, 4 Agustus 2016. REUTERS/Enrique Calvo
Korupsi, Adik Ipar Raja Spanyol Divonis Bersalah

Pengadilan Spanyol membebaskan adik Raja Spanyol, Christina de Borbon, dalam kasus yang sama.


Dua Guru Besar Nilai Revisi UU KPK Janggal, Ini Sebabnya

11 Februari 2017

Saldi Isra. TEMPO/Arie Basuki
Dua Guru Besar Nilai Revisi UU KPK Janggal, Ini Sebabnya

Saldi dan Elwi menilai revisi UU KPK hanya memperlemah kewenangan KPK dalam memberantas korupsi di Tanah Air.


Indeks Persepsi Korupsi, KPK: Nangkepin Orang Itu Gak Keren  

11 Februari 2017

Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang baru di Jalan Kuningan Persada, Kuningan, Jakarta.  TEMPO/Eko Siswono Toyudho
Indeks Persepsi Korupsi, KPK: Nangkepin Orang Itu Gak Keren  

Hasil pemeringkatan Indeks Korupsi Indonesia tahun-tahun sebelumnya bisa naik 2 poin, padahal jumlah operasi tangkap
tangan (OTT) lebih sedikit.


Kasus Korupsi E-KTP, KPK: Lebih dari 4 Saksi Kembalikan Duit

9 Februari 2017

Ketua KPK Agus Rahardjo usai penyuluhan anti korupsi di Kementerian Pertahanan, Jakarta, 22 November 2016. TEMPO/YOHANES PASKALIS
Kasus Korupsi E-KTP, KPK: Lebih dari 4 Saksi Kembalikan Duit

Dia memastikan di antara saksi-saksi itu ada anggota DPR yang ikut mengembalikan duit hasil korupsi.


Suap Paspor, Begini Atase Imigrasi Malaysia Jadi Tersangka

8 Februari 2017

Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang baru di Jalan Kuningan Persada, Kuningan, Jakarta.  TEMPO/Eko Siswono Toyudho
Suap Paspor, Begini Atase Imigrasi Malaysia Jadi Tersangka

Diduga menerima suap total Rp 1 miliar dalam penerbitan paspor menggunakan metode reach out tahun 2016 dan calling visa.


Korupsi E-KTP, Bekas Anggota DPR Belum Justice Collaborator

6 Februari 2017

TEMPO/Tony Hartawan
Korupsi E-KTP, Bekas Anggota DPR Belum Justice Collaborator

KPK telah mengembangkan semua informasi, data, dan bukti dalam
perkara dugaan korupsi pengadaan proyek kartu tanda penduduk
elektronik.