Maklumat Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengenai sembilan kriteria ceramah keagamaan di rumah ibadah patut diapresiasi. Imbauan itu dapat menjadi pegangan, baik bagi penceramah maupun pendengar, tentang ceramah agama yang baik.
Kriteria itu, antara lain, menyatakan bahwa ceramah agama harus bebas dari ujaran kebencian. Materi yang disampaikan juga tidak mempertentangkan unsur suku, agama, ras, dan antargolongan yang dapat menimbulkan konflik, mengganggu kerukunan, serta merusak ikatan bangsa. Ceramah juga tidak bermuatan penghinaan, penodaan, atau pelecehan terhadap pandangan, keyakinan, dan praktik ibadah di antara umat seagama atau antarumat berlainan agama.
Keluarnya imbauan pemerintah itu sudah tepat untuk menyikapi gejala yang muncul belakangan ini ketika rumah ibadah menjadi tempat ceramah yang dapat memicu ketegangan dan bahkan konflik di masyarakat. Imbauan itu memang bukan peraturan yang mengikat, tapi dapat menjadi rambu-rambu peringatan bagi siapa pun yang berceramah. Masyarakat juga dapat membantu memperkuatnya dengan menegur bila penceramah melanggarnya.
Sebagian besar kriteria itu sebetulnya sudah ada peraturannya, seperti Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Ada pula Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang melarang ujaran kebencian. Tinggal bagaimana aparat hukum dan kementerian terkait dapat menegakkan aturan tersebut dengan tegas. Jangan sampai hanya karena ujaran kebencian itu disampaikan di rumah ibadah atau oleh seorang ulama tersohor, misalnya, polisi menjadi sungkan untuk menindaknya.
Hal yang dibutuhkan masyarakat adalah ceramah yang sejuk, mengajarkan perdamaian, menghormati kemanusiaan, memperkaya pemahaman keagamaan mereka, dan memperteguh iman. Apalagi untuk ceramah salat Jumat, yang merupakan bagian dari rukun salat tersebut, tentu mereka tak ingin ceramah itu malah membuat ibadah mereka menjadi tidak khusyuk.
Namun rencana Kementerian Agama untuk menetapkan standar bagi khatib atau penceramah agama melalui sertifikasi harus dibatalkan. Sertifikasi ini hanya akan membentuk lembaga baru yang sukar untuk steril dari berbagai kelompok kepentingan. Sertifikasi juga sulit diterapkan, mengingat beragamnya agama dan aliran di Indonesia.
Pemerintah lebih baik memusatkan perhatian pada penyebarluasan sembilan kriteria ceramah keagamaan tadi. Kementerian Agama dapat bekerja sama dengan lembaga-lembaga keagamaan, seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, untuk memastikan agar imbauan itu sampai ke semua rumah ibadah. Umat beragama tentu akan lebih mendengarkan bila imbauan tadi juga didukung lembaga keagamaan tempat mereka bernaung. Pemerintah dapat memberikan contoh dengan menegakkan sembilan kriteria itu di lingkungan kantor pemerintah dan rumah ibadah yang dikelola pemerintah pusat dan daerah.