Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Yang Kiri, yang tanpa Ajektif

Oleh

image-gnews
Iklan

penghormatan untuk Benedict Anderson (1936- 2015)

Di awal musim dingin 1956, ketika Ben Anderson berumur 20 tahun, sesuatu terjadisesuatu yang mengarahkan jalan hidupnya.

Hari itu di kampus Universitas Cambridge sejumlah mahasiswa India dan Sri Lanka menyuarakan protes yang berapi-api. Ben, mahasiswa tahun terakhir Jurusan Klasik, ikut mendengarkan. Tapi tiba-tiba sebarisan laki-laki Inggris menyanyikan God Save the Queen dan menyerbu. Mereka merangsek dan memukuli mahasiswa-mahasiswa kurus berkulit warna gelap yang sedang unjuk rasa itu. Ben mencoba melerai. Tapi anak muda Irlandia yang rabun dan tak berotot itu kena tonjok. Kacamatanya jatuh, dan sejumlah kaki menghancurkannya. "Aku belum pernah semarah itu seumur hidupku," ceritanya kemudian.

Marah itu awal kebangkitan politik. Para mahasiswa Asia itu sedang memprotes agresi pasukan Israel, Inggris, dan Prancis ke Mesir di awal November 1956. Ketiga negara itu berkomplot hendak menjatuhkan Presiden Nasser yang mengambil alih Terusan Suez, wilayah Mesir yang semula dikuasai Inggris. Akhirnya usaha para agresor itu gagal, tapi Ben telah menyaksikan bagaimana kekuatan, kekuasaan, dan kebuasan saling merapat. Yang lemah, yang tak masuk hitungan, mungkin sia-sia melawan, tapi akan lebih sia-sia bila diam.

Kesadaran politik itu, "my moment", tulisnya, makin mendalam di tengah haru-biru dekolonisasi di bekas-bekas jajahan di Asia dan Afrika.

Dengan itu Ben, yang lulus dengan gemilang dari Cambridge, melanjutkan belajar ke Amerika, ke Universitas Cornell. Ia tertarik pada Indonesia. Waktu itu, kata Ben, awal 1958, di Indonesia "unsur-unsur sayap kanan dengan dibantu CIA" hampir berhasil melawan seorang presiden "sayap kiri", Sukarno. Tentu saja bila dilihat dari dekat, pembangkangan PRRI di Sumatera dan Permesta di Sulawesi itu akan tampak tak sesederhana itu; tapi yang penting adalah apa yang menggerakkan Ben. Ia, yang pernah kuliah pada sejarawan Marxis, Eric Hobsbawm, hendak menegaskan dan merumuskan amarah di lapangan kampus Cambridge itu: amarah anti-kolonialisme, protes kepada tata yang mengukuhkan ketidaksetaraan.

Ia datang ke Indonesia. Selama dua tahun, 1962-1964, ia menelaah, mengumpulkan bahan riset, dan hidup "dengan bahagia di Indonesia yang kacau". Ketika itulah teman saya, Soe Hok Gie, adik sahabat saya, Arief Budiman, mengajak saya menemui anak muda dari Universitas Cornell itu. Kami berkenalan. Saya duduk di sebelah Ben di tepi sebuah jalan di Menteng, Jakarta. Dengan Onghokham. Makan durian.

* * * *

Di Indonesia, tentang Indonesia, Ben menelaah banyak hal, yang kelak akan menghasilkan karya-karya cemerlang yang begitu orisinal hingga memikatdan kadang-kadang tak meyakinkan. Terutama karena, pada tahap awal, pandangannya adalah pandangan seseorang yang terkesima. Dalam blusukannya dengan Onghokham, yang waktu itu masih mahasiswa sejarah, ia ikut "terseret" (ini pengakuannya) keasyikan bersama "candi, gamelan, wayang, pertunjukan rakyat desa, dongeng, sopan santun, batik...". Ia akrabi hal-hal yang dianggapnya unik, tak lazim buat (dan sebab itu tak tertangkap oleh) sudut pandang yang berlaku.

Ketika ia menulis The Idea of Power in Javanese Culture, misalnya, ia coba tunjukkan sesuatu yang tak dilihat para ilmuwan lain: adanya pemahaman yang berbeda antara orang "Barat" dan orang Jawa tentang "power". Tentu saja ini sangat menarikmeskipun bagi saya sejak mula meragukan. Bagi saya, Ben Anderson membandingkan dua hal yang sulit dibandingkan: ia sendiri mengakui ia tak menemukan kata Jawa yang sepadan dengan istilah power sebagaimana yang ia maksudkan.

Saya, yang berbahasa Jawa, juga tak menemukannya. Maka untuk praktisnya saya sebut saja itu "X". Dalam bahasa politik Indonesia, power berarti "kekuasaan"; tapi itu juga tak pas dengan "X" yang diuraikan Ben. "Kekuasaan" adalah konsep yang "relasional", menyiratkan hubungan antara subyek dan obyek, antara orang yang berkuasa dan orang yang dikuasai, sedangkan "X" bukan. "X" bisa disebutkan tanpa ada hubungannya dengan orang lainseperti ketika "X" terpancar pada teja yang tampak di wajah seseorang yang terpilih. Walhasil, "X", atau "power-bagi-orang-Jawa", benda yang unik. Ia mempesonatapi tanpa sejarah, tanpa politik.

The Idea of Power, yang membuat politik "orang Jawa" tampak misterius dan eksotis, terbit pada 1972. Kini, hampir setengah abad kemudian, thesis buku ini bisa dianggap "esensialis": mendasarkan diri pada pandangan bahwa ada esensi "Jawa" yang tak berubah, tak digerakkan sejarah.

Ben Anderson memang tak menjelaskan apa yang dimaksudkannya dengan "Jawa". Dalam administrasi kependudukan kolonial, yang hingga kini dilanjutkan dengan membabi-buta, "Jawa" adalah satuan demografis yang disederhanakan dengan mengabaikan keragaman mereka yang hidup antara batas Jawa Barat dan Jawa Timurdan tentu saja mengabaikan konflik dan pergulatan hegemoni di dalamnya. Tak hanya itu: pengertian yang mengacu pada "sebuah amalgam yang unik" (menurut Ben) yang disebut "Jawa" itu sebenarnya representasi "cara Jawi" yang, sebagaimana ditunjukkan John Pemberton dalam On the Subject of 'Java' (terbit 1994), baru tersusun pada pertengahan 1800-an. Cara Jawi hadir sejak kerajaan-kerajaan Jawa Tengah terdesak "Kompeni", sebagai strategi keraton, dalam hal ini Surakarta, untuk mengukuhkan diri dengan membangun ritual yang bagi orang luar, bagi orang Belanda, nyaris tak tertembus.

Seandainya Ben melihat "Jawa" sebagai sesuatu yang historis, terbentuk dan berubah oleh sejarah, saya kira ia tak akan menulis The Idea of Power.

Tapi dua hal kemudian melepaskannya dari pesona awal. Yang pertama kekejaman di sekitar Oktober 1965: ribuan orang yang dianggap PKI dibantai dengan bengiskebuasan yang menyebabkan sahabatnya, Onghokham, mengalami trauma, dan kemudian mencoba, dengan jadi penenggak alkohol, menghapuskan mimpi buruk tentang deretan mayat berdarah di sepanjang jalanan Jawa Timur yang pernah disaksikannya. Bagi Ben, mendengar pembantaian massal di negeri yang menambat hatinya itu seperti diberi tahu bahwa saudara kandungnya pembunuh.

Ia ikut menyusun naskah akademik yang kemudian terkenal sebagai Cornell Paper, yang mencoba menunjukkan bahwa "Peristiwa G-30-S" bukan kudeta, bukan rancangan PKI, melainkan konflik di dalam Angkatan Daratdan bahwa Soeharto terlibat, langsung atau tak langsung. Harus diakui kesimpulan itu dibuat tergesa-gesa, ketika bahan belum memadai. Tapi pemerintah "Orde Baru" tak tambah meyakinkannya ketika dengan cara kasar dan pengecut melarangnya masuk ke Indonesia, sejak 1972 sampai setelah Soeharto jatuh.

Hal kedua yang mengubah perspektifnya adalah Perry, adik kandung yang ia sebut adik secara biologis tapi kakak secara intelektual. Anderson yang lebih muda ini sejarawan terkemuka yang memimpin New Left Review, dan dialah, kata Ben dengan sedikit melucu, yang meyakinkannya "bahwa... orang Indonesia bukan makhluk yang unik, melainkan bagian dari spesies manusia". Sebagaimana halnya manusia lain, tak ada sifat-sifat makhluk ini yang tak berubah sepanjang riwayatnya. Ben, yang selama 27 tahun tak pernah melihat Indonesia dari dekat, punya kesempatan mengambil jarak. Ia misalnya bisa melihat bahwa tradisi Jawa sebenarnya sebuah konstruksi di abad modern. Ia pun cenderung lebih peka kepada peran gerak sejarah dalam pembentukan ide dan wacana. Ia menulis Imagined Communities-nya yang termasyhur itu sebagai usaha mengkombinasikan "sejenis materialisme sejarah" dengan apa yang kemudian disebut discourse analysis.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dengan perspektif Marxisme itu (digabungkan dengan "postmodernisme" sebelum kata itu ditemukan, kata Ben) ia tunjukkan wacana nasionalisme di tempat-tempat yang berjauhan dan dalam kronologi yang berbeda.

Yang sering orang luput ketika membaca Imagined Communities adalah elemen universal dalam pelbagai nasionalisme itu. Bukan teknologi dan modal dalam "kapitalisme cetak", bukan jejak universalitas yang terputus dari agama-agama, melainkan (saya sebut ini dengan sedikit bergurau) "marahku-di-kampus-Cambridge". Bung Karno akan mengumpamakannya dengan pemberontakan seekor cacing, sekalipun hanya cacing, yang diinjak. Tanpa orang ramai yang menolak keadaan, "kapitalisme cetak" tak akan punya dampak. Ranciere akan menyebutnya sebagai "subyektivasi politik": kemampuan memproduksi "polemik" yang mengungkapkan kontradiksi antara para penjaga tatanan (la police) dan politik (la politique). Adapun "politik" di sini berarti aksi-aksi mengguncang tatanan itu, le partage du sensible itu, agar mereka yang tak masuk hitungan hadir, yang membisu berbicara, yang disisihkan tampil, yang digelapkan muncul.

* * * *

Di masa kecilnya, Ben Anderson gemar membaca cerita-cerita Sherlock Holmes. Yang selalu diingatnya adalah pesan sang detektif: dalam meneliti satu kasus, tak cukup hanya menganalisis barang bukti yang ada. "Seorang detektif harus mengetahui ada yang absen, yang tak terlihat."

Mungkin itu sebabnya Ben cenderung menyorot ke arah "yang absen, yang tak terlihat". Sementara sebelumnya orang menulis sejarah nasionalisme dari ide-ide dan perang antar-penguasa, Ben melihatnya (sesuai dengan perspektif materialisme sejarah) pada lembar surat kabar harian, pada hubungan percetakan, pasar, modal, dan bahasa; atau pada sensus, museum, peta, dan makam pahlawan tak dikenal.

Ben sendiri memang cenderung tertarik pada yang sehari-hari di jalanan ("'polytheism' of scattered practices", kata De Certeau), yang praktis tak tampak dari atas karena bukan yang adiluhung dan tak diadiluhungkan.

Ia akrab dengan Pipit Rochijat, aktivis mahasiswa Indonesia di Jerman yang sejak 1980-an dikenal sebagai pembuat kisah wayang sebagai parodi yang tajam tentang Rezim Soehartodengan akibat tak bisa pulang ke Tanah Air. Pipit memang memilih berada di luar garis apa pun. Berandal dalam pikiran, suka meledek, menulis dengan bahasa Indonesia yang eksentrik, emigre Indonesia di Berlin yang kreatif ini dengan segera menarik hati Ben. Surat-surat Ben kepadanya (Pipit mengizinkan saya membacanya) memperlihatkan sisi lain penulis The Idea of Power: bukan sebagai ilmuwan yang termasyhur karena wawasannya yang impresif dan prosanya yang memukau, melainkan sebagai Ben yang selalu muda, suka bercanda dengan omongan yang mbeling, kurang ajar, sarkastis, tidak "baik-dan-benar".

Saya petik surat di awal 1985: "Belum tahu, ya, kalian, bahwa ogut sudah naik pangkat, eh pantat, jadi masih kuat bertanding dengan B.M., Bahaya Maut itu!" Ia memakai kata "ogut" dari pergaulan remaja Jakarta; ia mencemooh militer dengan menyebut dirinya "Kolonel" dan menyebut Pipit "Overste" (lebih sering, "Sersan"); ia menyamakan "pangkat" dengan "pantat", dan ia mengolok-olok Jenderal Benny Moerdani ("B.M.") sebagai "Bahaya Maut".

Dalam sebuah tulisan yang tak dimuat, yang juga dikirimkan ke Pipit, Ben memaparkan kontras antara Taman Pahlawan, yang berisi nama besar dan pangkat besar, dan kuburan orang-orang yang disebut "djago", pendekar tanpa hierarki. "Majat mereka sulit diselipkan kedalam Taman Pahlawan, jang dinas imigrasinja tjukup ketat," tulis Ben dalam ejaan pra-Orba. Nama para "djago" itu juga tak pernah muncul di papan nama jalan. Tapi sementara Taman Pahlawan cuma diziarahi "klompok resmi dan pada waktu jang ditentukan oleh pihak jang berwadjib", para "djago" yang terkubur di kampung-kampung hidup dalam pelbagai bentuk ingatan kolektif, dalam puisi dan teater rakyat.

Dengan menunjukkan kontras itu, kita tahu di mana hati Ben terarah.

Sadar atau tak sadar, ada benang merah antara bahasa olok-olok yang mencemooh para jenderal dan "marah-di-kampus-Cambridge" 1956. Langsung atau tak langsung, ada kontinuitas antara pemihakan kepada yang tak resmi, yang tak terhormat, dan la politique, aksi yang mengguncang tatanan yang melembagakan pembagian itu.

Bangsa, sebagai "masyarakat yang dianggit", memang bisa terbentuk jadi tatanan yang resmi dan represif. Tapi proses imagining dalam sejarah nasionalisme yang dipaparkan Ben Anderson adalah bagian dari dialektika sejarah, selamanya berlangsung dengan antagonisme: pembangkangan terhadap status quo.

Maka siapa yang tak melihat gerak radikal la politique dalam proses terjadinya bangsa akan keliru membaca thesis Kiri Ben Andersondan akan tak bisa pula mengenali rasa anarkisme dalam perspektif nasionalismenya. Di Bawah Tiga Bendera, yang versi Indonesianya diperkenalkan hanya beberapa hari sebelum ia meninggal, sebenarnya sebuah statemen "anarkisme tanpa ajektif", untuk memakai rumusan Fernando Tarrida del Mrmol, tokoh Kiri yang perjuangannya diceritakan Ben dengan memikat. Di akhir buku itu Ben bercerita bagaimana di sebuah rapat para aktivis di Manila ia membacakan selembar pamflet yang tak ditandatangani siapa pun: Organize Without Leaders! Dan ia membacanya dengan senang.

Di situlah Ben Anderson tak ada duanya: Marxis yang tak pernah mengutip teori, ilmuwan progresif yang tak pernah mengenakan label. Kelebihannya tidak hanya pada thesis-thesisnya yang membuat kita berpikir, tapi juga pada kesetiaannya kepada kemarahan di kampus Cambridge, 1956.

Goenawan Mohamad

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Semifinal Piala AFF U-19 2024 Australia vs Thailand Sabtu Sore 27 Juli: Simak Komentar Pelatih Kedua Tim

4 menit lalu

Pelatih Timnas Australia U-19, Trevor Morgan (kiri) dan Pelatih Timnas Thailand U-19, Emerson Pereira da Silva (kanan) saat konferensi pers menjelang laga semifinal Piala AFF U-19 2024, di Hotel Wyndham Surabaya, 26 Juli 2024. Foto: TEMPO/Hanaa Septiana
Semifinal Piala AFF U-19 2024 Australia vs Thailand Sabtu Sore 27 Juli: Simak Komentar Pelatih Kedua Tim

Laga Timnas Australia vs Thailand akan hadir pada babak semifinal Piala AFF U-19 2024, Sabtu sore. Simak komentar kedua pelatih jelang laga.


5 Fakta Dugaan Sabotase Kereta Cepat Sebelum Pembukaan Olimpiade Paris 2024

18 menit lalu

Tentara berjaga di depan Menara Eiffel menjelang Olimpiade Paris 2024, Prancis, 21 Juli 2024.REUTERS/Stefan Wermuth
5 Fakta Dugaan Sabotase Kereta Cepat Sebelum Pembukaan Olimpiade Paris 2024

Sabotase kereta cepat disebut-sebut sebagai upaya terencana beberapa jam menjelang upacara pembukaan Olimpiade Paris 2024.


Berita MotoGP: Joan Mir Perpanjang Kontrak di Repsol Honda hingga 2026

22 menit lalu

Joan Mir pembalap MotoGP di Repsol Honda. (Foto: Repsol Honda)
Berita MotoGP: Joan Mir Perpanjang Kontrak di Repsol Honda hingga 2026

Pembalap MotoGP Joan Mir memperpanjang kontraknya dengan tim pabrikan Honda Racing Corporation (HRC/Repsol Honda) selama dua musim.


Indikator Keberhasilan Pilkada 2024: Partisipasi Generasi Muda sampai Semua Pihak Patuhi Aturan

24 menit lalu

Ilustrasi TPS Pilkada. Dok TEMPO
Indikator Keberhasilan Pilkada 2024: Partisipasi Generasi Muda sampai Semua Pihak Patuhi Aturan

Beberapa indikator Pilkada 2024 berhasil, antara lain partisipasi generasi muda sebagai pemilih terbesar dan mematuhi aturan oleh semua pihak terlibat


Komika Arie Kriting Besut Film Kaka Boss, Berikut Film Lain yang Dibintanginya Termasuk Agak Laen

28 menit lalu

Stand Up Comedian Arie Kriting dengan gaya khas orang Timur tampil menghibur penonton di ajang Tujuh Hari Untuk Kemenangan Rakyat di Teater Salihara, Jakarta,  19 Juli 2014. TEMPO/Nurdiansah
Komika Arie Kriting Besut Film Kaka Boss, Berikut Film Lain yang Dibintanginya Termasuk Agak Laen

Arie Kriting menjadi sutradara film Kaka Boss. Sebelumnya, ia telah bermain dalam beberapa film termasuk Agak Laen.


Olivia Rodrigo Tegaskan Dukungan untuk Kamala Harris atas Isu Hak Reproduksi

29 menit lalu

Olivia Rodrigo/Foto: Instagram/Olivia Rodrigo
Olivia Rodrigo Tegaskan Dukungan untuk Kamala Harris atas Isu Hak Reproduksi

Olivia Rodrigo menunjukkan dukungannya kepada Kamala Harris dengan mengunggah ulang video yang mengkritik kebijakan Donald Trump tentang aborsi.


Cegah Wabah, WHO Kirim Lebih dari 1 Juta Vaksin Polio ke Gaza

29 menit lalu

Anak-anak Palestina menangis saat berebut makanan dimasak oleh dapur amal, di tengah kelangkaan makanan, saat konflik Israel-Hamas berlanjut, di Jalur Gaza utara, 18 Juli 2024. REUTERS/Mahmoud Issa
Cegah Wabah, WHO Kirim Lebih dari 1 Juta Vaksin Polio ke Gaza

WHO mengirimkan lebih dari satu juta vaksin polio ke Gaza untuk mencegah anak-anak terkena wabah


PSN Rempang Eco City Tetap Lanjut, Walhi: Suara Rakyat Diabaikan

29 menit lalu

Warga Rempang bentangkan spanduk di atas kapal di laut Pulau Rempang, Kota Batam, Senin, 20 Mei 2024. TEMPO/Yogi Eka Sahputra
PSN Rempang Eco City Tetap Lanjut, Walhi: Suara Rakyat Diabaikan

Pemerintah memutuskan untuk tetap melanjutkan Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City. Walhi sebut pemerintah abaikan suara rakyat.


Segini Harta Kekayaan Hakim MA yang Perintahkan Rumah Istri Rafael Alun Dikembalikan

29 menit lalu

Terdakwa mantan pejabat eselon III kabag umum Kanwil Ditjen Pajak Jakarta Selatan II, Rafael Alun Trisambodo (tengah) berbincang dengan kuasa hukumnya saat mengikuti sidang pembacaan surat amar putusan, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin, 8 Januari 2024. Rafael menyatakan masih pikir-pikir soal kemungkinan mengajukan banding atas vonis 14 Tahun penjara dan denda Rp 500 juta yang dijatuhkan  Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi kepadanya. TEMPO/Imam Sukamto
Segini Harta Kekayaan Hakim MA yang Perintahkan Rumah Istri Rafael Alun Dikembalikan

Lewat putusan kasasi, hakim MA (Mahkamah Agung) memerintahkan harta istri Rafael Alun Trisambodo dikembalikan. Segini kekayaan hakim tersebut.


Sepak Terjang Hendry Lie, Tersangka Korupsi Timah yang Keberadaannya Dimonitor Kejagung

29 menit lalu

Hendry Lie. (Dok. PT. Tinindo Inter Nusa (TIN))
Sepak Terjang Hendry Lie, Tersangka Korupsi Timah yang Keberadaannya Dimonitor Kejagung

Hendry Lie, tersangka korupsi timah yang juga pendiri perusahaan maskapai PT Sriwijaya Air.