Semestinya pemerintah mengambil langka lebih cerdas ketimbang sekadar mengeluarkan pernyataan ingin membubarkan organisasi yang dinilai bertentangan dengan dasar negara Indonesia. Jika sekadar membubarkan organisasi, selain ada kemungkinan mencederai prinsip kebebasan berserikat dan berpendapat, bisa tak efektif membunuh ide yang telah menyebar masif.
Pengumuman Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto, Senin lalu, bahwa pemerintah ingin membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia seperti dilakukan tanpa perencanaan matang dan terburu-buru. Wiranto mengatakan akan menempuh jalur hukum, melalui pengadilan, untuk membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia. Organisasi ini dianggap mengancam ideologi negara lantaran menginginkan tegaknya kepemimpinan Islam sejagat-disebut khilafah-yang bertentangan dengan Pancasila.
Bisa ditebak, reaksi penolakan muncul walaupun Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly belum memulai langkah hukum tersebut. Beberapa kalangan menuding pemerintah tidak demokratis, tak mendukung kebebasan berserikat, berkumpul, dan berpendapat yang dijamin Undang-Undang Dasar 1945.
Betul bahwa niat pemerintah menegakkan NKRI dan mengusir radikalisasi wajib didukung. TAapi hal itu harus dilakukan dengan cara sehat yang bisa diterima, dan tentu konstitusional. Misalnya dengan menjaga sekolah, kampus, atau lembaga negara agar tak disusupi ideologi Hizbut Tahrir.
Mungkin tampak sepele, tapi hal ini sangatlah penting. Sebab, di tempat-tempat itulah Hizbut Tahrir tumbuh subur. Seperti beranak-pinak, generasi baru mereka lahir dan berkembang di sana. Organisasi ini memang aktif melakukan penetrasi ke sekolah, kampus, dan majelis taklim.
Pemerintah juga harus mengamankan lembaga negara dan lembaga yang dibiayai negara dari penyebaran paham radikal. Apalagi Kepolisian RI mengendus adanya gerakan penyusupan itu. Upaya penetrasi itu harus disetop, jangan sampai hidup, apalagi berkembang.
Menyusup ke lembaga pemerintah bukanlah cara baru Hizbut Tahrir. Di Turki, Hizbut Tahrir membikin surat terbuka kepada jenderal militer, lantas mengajaknya bergabung membentuk khilafah. Aksi itu berujung pelarangan Hizbut Tahrir oleh pemerintah Turki. Kejadian serupa terjadi di Pakistan dan beberapa negara lain. Karena itulah, sekitar 17 negara-termasuk Indonesia-melarang Hizbut Tahrir.
Pembubaran bisa dipilih untuk mencegah pengaruh buruk sebuah organisasi. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan membolehkan hal itu melalui sidang pengadilan. Namun membredel sebuah ormas tak otomatis membunuh ide yang sudah telanjur menyebar.
Pemerintah harus memilih langkah strategis. Mereka bisa memerangi gagasan Hizbut Tahrir dengan merangkul organisasi Islam, seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Cara lainnya, menerbitkan aturan tentang larangan organisasi yang berlawanan dengan dasar negara Pancasila.