Pemerintah tak bisa membiarkan kasus penembakan empat mahasiswa Universitas Trisakti terus menggantung. Apalagi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyimpulkan adanya indikasi pelanggaran berat hak asasi manusia dalam peristiwa 12 Mei 1998 itu.
Hingga kini, baru pelaku penembakan yang mengawali kejatuhan rezim Soeharto itu yang diajukan ke pengadilan militer. Pemerintah Joko Widodo seharusnya menuntaskan proses hukum kasus ini agar tak melanggengkan kultur impunitas.
Penembakan Trisakti terjadi saat ribuan mahasiswa dan pengajar kampus tersebut turun ke jalan menuntut reformasi. Demonstrasi berakhir rusuh setelah aparat keamanan melepaskan tembakan peluru tajam, yang berujung tewasnya Elang Mulia Lesmana, Hafidhin Royan, Hery Hartanto, dan Hendriawan Sie. Penembakan ini mengawali kerusuhan massal di Jakarta dan sejumlah kota besar lainnya, yang membuat Soeharto mundur dari 32 tahun kekuasaannya.
Komnas HAM menyelidiki kasus ini, juga dua penembakan di simpang Semanggi, Jakarta. Peristiwa Semanggi I terjadi pada 11-13 November 1998, menewaskan 17 warga sipil. Semanggi II merupakan peristiwa pada 24 September 1999 yang menewaskan satu mahasiswa dan 11 lainnya di seluruh Jakarta. Laporan Komnas HAM pada Maret 2002 menyatakan ketiga peristiwa itu bertautan. Menurut lembaga tersebut, terdapat bukti awal terjadinya pelanggaran berat hak asasi.
Laporan diserahkan ke Kejaksaan Agung pada 29 April 2002. Namun penyelesaian kasus itu tak jelas hingga kini. Kejaksaan Agung setidaknya sampai empat kali mengembalikan berkas kasus tersebut ke Komnas HAM. Alasannya berbagai macam, antara lain syarat formal pemeriksaan tak terpenuhi. Selain itu, tak ada rekomendasi DPR dan perkara telah diadili. Memang, 15 anggota Brimob telah dihukum dengan vonis bervariasi, yakni 2-6 tahun penjara, oleh pengadilan militer.
Rekomendasi DPR seharusnya tak menjadi rujukan utama. Sebab, lembaga politik tak patut menyatakan sebuah peristiwa dikategorikan pelanggaran HAM berat atau tidak. Alasan nebis in idem juga tak tepat. Mereka yang sudah diadili merupakan pelaksana lapangan. Adapun pemegang tongkat komando pasukan keamanan ketika itu belum tersentuh hukum.
Awal tahun ini, pemerintah menyampaikan rencananya menyelesaikan masalah pelanggaran HAM masa lalu, termasuk kasus Trisakti, melalui rekonsiliasi. Dalam kasus-kasus lampau yang buktinya susah dicari, rekonsiliasi mungkin bisa menjadi alternatif. Meski begitu, seharusnya langkah itu lebih dulu diawali dengan pengungkapan kebenaran.
Untuk kasus dengan bukti lengkap seperti penembakan Trisakti, jalan terbaik tetaplah proses hukum. Pengadilan mungkin tak selalu memberikan keadilan. Tapi setidaknya tersampaikan pesan terang kepada aparat negara agar tak berbuat seenaknya.