Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Membongkar 32 Tahun yang Sunyi  

Oleh

image-gnews
Poster film The Look Silence (2014)
Poster film The Look Silence (2014)
Iklan

TEMPO.CO, JakartaJoshua Oppenheimer memukau sekaligus mengguncang dengan film dokumenternya yang terbaru. Sekuel film “Act of Killing” dengan pendekatan personal.

***

Ia meletakkan sekeping lensa di depan matanya  dan bertanya apakah bapak sepuh itu sudah bisa jelas melihat pemandangan di hadapannya.

“Tidak...belum,” kata sang bapak tua. Sang optometris, bernama Adi Rukun, menambahkan sekeping lensa lagi, “ini?”

Lelaki tua bertubuh kurus itu bernama Inong. Giginya sudah menghilang, matanya sudah rabun—dan karena itulah Adi Rukun mengunjunginya untuk mengecek matanya—tetapi suaranya masih lantang dan ingatannya tentang peristiwa 50 tahun silam sungguh terang benderang.  Dia membunuh begitu banyak orang. Dia Kepada sutradara film ini dia bercerita bagaimana dia membunuh Ramli dan melempar tubuhnya ke sungai.

Adi Rukun, adik Ramli, datang kepadanya. Untuk memperbaiki penglihatan Inong yang sudah rabun. Dan, mungkin ---sekali lagi, mungkin—untuk membuka nurani lelaki ringkih yang ternyata di masa muda adalah salah satu pimpinan gerakan anti komunis di desanya di Deli Serdang setelah pecahnya tragedi 1965.
Tentu saja itu tak terjadi. Pertanyaan demi pertanyaan Adi Rukun membuat Inong merasa tak nyaman. “Kamu sudah mulai bicara politik. Saya tidak mau jawab,” kata Inong dengan lantang. Saat itu dia tak lagi seperti seorang kakek ringkih. Ada sejarah kelam yang menumpuk di balik matanya yang membutuhkan lensa itu.

Ini adalah sebagian adegan film “The Look of Silence” karya Joshua Oppenheimer terbaru yang berhasil meraih penghargaan Grand Jury Prize di Festival Film Venice tahun ini. Sekuel ini, seperti juga film pertamanya, masih berkisah tentang   para pelaku pembunuhan tahun 1965-1966 dan juga masih berkisar propinsi Sumatera Utara, tepatnya Kabupaten Deli Serdang. “Act of Killing” mengguncang dunia karena Oppenheimer menampilkan narasumber yang dengan bangga  menceritakan bagaimana mereka membantai “para pendukung komunis” itu dan betapa tokoh-tokoh politik yang masih berkuasa dengan enteng menganggap peristiwa itu memang sesuatu yang wajar. Maka “The Look of Silence” adalah sebuah dokumentasi yang lebih personal dan, karena itu, jadi lebih memukau.  

Oppenheimer menggunakan suara Adi Rukun sebagai perwakilan dari banyak orang, korban atau bukan korban, yang selalu mempertanyakan lubang gelap dalam sejarah Indonesia. Tetapi Adi adalah sosok istimewa. Adi, 44 tahun, putera  dari sepasang suami isteri usia dari Jawa Timur yang menetap di salah satu desa di Deli Serdang. Sesekali kita diperlihatkan bagaimana sang ibu memandikan dan menyuapi ayah Adi yang sudah sangat tua, pikun dan butuh bantuan untuk bisa bergerak.  Sang Ayah sudah tak mengenal siapapun dan mengaku “berusia 16 tahun”. Situasi sang Ayah yang membuat pilu dikombinasi dengan sang Ibu yang selalu merindukan Ramli, putera sulungnya yang hilang dibunuh, membuat film ini menjadi sangat personal hampir menyerupai sebuah film fiksi layar lebar. Tetapi justru karena ini adalah sebuah film doku-drama, yang memperlihatkan kehidupan nyata, maka kesedihan itu semakin menikam.

Puluhan tahun berlalu, tetapi para pembunuh  Ramli dan korban lainnya masih hidup  dengan tenang dan sentosa di tanah yang sama dengan keluarga Adi Rukun. Adi kemudian lebih mengetahui secara rinci tentang peristiwa pembunuhan terhadap abangnya melalui rekaman dokumenter Joshua Oppenheimer yang dilakukan beberapa tahun silam. Dari rekaman itu, Adi  melihat bagaimana Inong dan Amir Hasan menyiksa Ramli dan membuang tubuhnya ke Sungai Pekong. Dari rekaman itu pula, Adi mengetahui kekejian demi kekejian yang terjadi pada siapapun yang masuk daftar yang harus diburu.

Adi memutuskan untuk mengunjungi orang-orang di Kabupaten Deli Serdang yang mengaku ikut dalam pembunuhan anggota dan simpatisan PKI atau Gerwani (“saya memotong payudaranya, lalu baru lehernya,” kata salah satu narasumber). I Kita tak pernah tahu  tujuan Adi, apakah dia ingin mengkonfrontasi, ingin mendengar  sebuah pengakuan atau penyesalan atau pertobatan

Adi menghadapi beragam reaksi dari setiap  narasumber yang diwawancarainya. Inong tampak marah dan defensif karena dia merasa itulah tindakan yang harus dilakukan pada zamannya. Ada saat Adi mengunjungi salah satu  narasumber bernama Samsir yang selama wawancara didampingi anak perempuannya. Samsir mengaku membunuh  orang. Begitu Adi menyampaikan bahwa ia adalah adik Ramli yang juga menjadi korban,  Samsir diam, sementara anaknya segera menyampaikan permintaan maaf. Bagian ini seperti sebuah perwakilan mereka yang percaya bahwa sebelum maju ke masa depan, pengakuan dan permaafan adalah sesuatu yang penting. Paling tidak bagi Adi dan bagi puteri Samsir.

Ada lagi keluarga Amir-Hasan yang dijumpai beberapa tahun setelah Amir wafat. Pada pertemuan yang semula santun dan beradab ini, suasana menjadi tak nyaman ketika akhirnya Adi mengungkap siapa dirinya. Isteri dan sanak saudara Amir Hasan menolak untuk menyaksikan rekaman  yang dibuat Joshua –yang selalu  mendampingi Adi Rukun—yang berisi pengakuan Amir dan Inong tentang peristiwa pembantaian terhadap Ramli dan korban-korban lainnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dari beberapa orang yang ditemuinya, tentu yang paling menyayat hati adalah pertemuan antara Adi Rukun dengan pamannya sendiri  yang di tahun-tahun pembantaian bekerja sebagai sipir penjara. Tentu saja sang paman, adik dari ibu Adi, tidak bertanggung-jawab langsung atas kematian Ramli. Tetapi dia bekerja sebagai bagian dari mesin besar itu. Itu bukan saja mengejutkan Adi (dan ibunya yang ternyata tak mengetahui kerja adiknya pada tahun-tahun kelam itu), tetapi juga menusuk hati saat menyadari betapa mereka memang berada di spektrum yang berlawanan. Paman Adi tampak tidak menyesali perannya.

“Kalau saya tolak, mereka membunuh kita, awak jaga keamanan. Mereka tak pernah salat.....berani-beraninya kau menyalahkan saya....” suara sang paman meninggi. Suasana menjadi masam. Wajah Adi tampak terluka.

“Saya melakukannya untuk membela negara,” pamannya menutup pembicaraan dengan kalimat yang sering diulang-ulang mereka sebagai justifikasi.

Beberapa kali kamera Lars Skree menyorot reaksi Adi dari dekat. Sedih, marah, kecewa bercampur baur. Hal-hal yang tak terkatakan oleh Adi Rukun terekam dalam sunyi, tetapi Joshua Oppenheimer tahu keheningan itu berbicara tentang hati Adi dengan jelas.

Benang merah antara kedua film karya Oppenheimer –yang juga diproduksi oleh sineas terkemuka Werner Herzog—adalah kisah para pembantai yang terang-terangan mengaku sebagai pembunuh anggota, simpatisan komunis atau anggota organisasi yang berkaitan (atau dianggap berkaitan dengan PKI). Tak ada penyesalan, sikap pertobatan apalagi permintaan maaf. Semua itu dianggap sebagai tindak laku kepahlawanan. Tetapi justru ada satu kalimat menarik yang tidak dikembangkan oleh sang sutradara. Inong mengucapkan bahwa tentara tak pernah melakukan eksekusi itu. Mereka hanya membiarkan pemimpin desa dan warganya yang melakukannya. Bayang-bayang tentara , yang sebetulnya berkepentingan dalam pembantaian massal se Indonesia itu terasa sekelebat belaka, karena nampaknya Oppenheimer ingin menyorot pelaku dan korban dari kalangan ‘biasa’.

Tetapi penonton yang kritis dan cerdas—yang tak mengikuti sejarah Indonesia—sudah pasti akan bertanya tentang konteks: bagaimana bisa warga di sebuah negara kepulauan nun jauh di timur sana memiliki perasaan yang sama terhadap komunisme di sebuah masa setengah abad silam? Dari mana pula akar kebencian –yang kemudian berkembang menjadi kekejian  yang membuat mereka beramai-ramai menerabas sesama warga bak binatang?

Bahwa tentara punya andil yang sangat besar dengan peristiwa ini, tentu tak menghilangkan fakta bahwa warga Indonesia menjadi bagian dari pembantai itu. Tetapi menampilkan sebuah kisah , sepersonal apapun, akan selalu lebih lengkap jika diberi konteks kesejarahan yang lebih luas, apapun caranya. Oppenheimer sekelumit memperlihatkan adegan diskusi Adi Rukun dengan anaknya yang mendapat pelajaran sejarah di kelas tentang jahatnya PKI dan para pengikutnya, sebuah indoktrinasi yang hingga kini masih terus berlangsung. Diskusi itu menarik dan penting, dan seharusnya persoalan ‘lubang besar’ dalam sejarah Indonesia itu  juga diangkat untuk melengkapi konteks.  

Dari sisi sinematik, “The Look of Silence” menyajikan bahasa gambar yang lebih berbicara dibanding ‘kakak’nya film “Act of Killing”. Visual yang mengikat kita, hingga kita sama sekali tak bisa berhenti menyaksikan –bahkan untuk sedetikpun—dan dialog yang pendek dan serba menegangkan, membuat film ini jauh lebih menggebrak.

Selama 32 tahun, Indonesia membisu tentang derasnya darah yang mengucur dari korban yang diterabas, digolok, dipenggal, dibuang ke sungai, digantung, ditusuk atau dikerat. Indonesia selama ini, sebelum dan sesudah 1998, masih membisu, pura-pura tak tahu, tak faham, tak peduli, tak mau pusing. Tentu beberapa gelintir sudah mulai berbicara melalui diskusi, hasil penelitian , karya seni dan gugatan-gugatan sporadis di sana-sini yang dianggap remeh.  Joshua Oppenheimer beserta seluruh timnya, dan para kreator lainnya sudah membuka pintu diskusi itu. Jawaban kini ada pada kita semua: rakyat, media, pemerintah. 

Leila S.Chudori

The Look of Silence (Senyap)
Sutradara: Joshua Oppenheimer dan Anonim
Sinematografi : Lars Skree
Produksi: Final Cut for Real (Denmark)
Tahun: 2014



Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Komika Arie Kriting Besut Film Kaka Boss, Berikut Film Lain yang Dibintanginya Termasuk Agak Laen

53 menit lalu

Stand Up Comedian Arie Kriting dengan gaya khas orang Timur tampil menghibur penonton di ajang Tujuh Hari Untuk Kemenangan Rakyat di Teater Salihara, Jakarta,  19 Juli 2014. TEMPO/Nurdiansah
Komika Arie Kriting Besut Film Kaka Boss, Berikut Film Lain yang Dibintanginya Termasuk Agak Laen

Arie Kriting menjadi sutradara film Kaka Boss. Sebelumnya, ia telah bermain dalam beberapa film termasuk Agak Laen.


Sinopsis dan Pemain Film Korea Dead Man, Angkat Kasus Penggelapan Uang

11 jam lalu

Film Dead Man. Dok. Vidio
Sinopsis dan Pemain Film Korea Dead Man, Angkat Kasus Penggelapan Uang

Film Korea Dead Man mengikuti kisah menegangkan Cho Jin Woong dan Kim Hee Ae yang terjebak kasus penggelapan uang.


Cerita Lukman Sardi Tinggal dengan Orang Tua Angkat saat Syuting Kabut Berduri

1 hari lalu

Lukman Sardi setelah private screening film Kabut Berduri di Jakarta, Kamis, 11 Juli 2024. Dok. Netflix
Cerita Lukman Sardi Tinggal dengan Orang Tua Angkat saat Syuting Kabut Berduri

Lukman Sardi menceritakan pengalamannya yang sangat berkesan ketika tinggal di Rumah Panjang saat syuting film Kabut Berduri di Kalimantan.


Transformasi Timothee Chalamet sebagai Bob Dylan dalam Trailer A Complete Unknown

1 hari lalu

Timothee Chalamet sebagai Bob Dylan dalam trailer film A Complete Unknown. Foto: YouTube
Transformasi Timothee Chalamet sebagai Bob Dylan dalam Trailer A Complete Unknown

Perubahan penampilan Timothee Chalamet yang mengikuti gaya berpakaian Bob Dylan dalam trailer A Complete Unknown.


Film Kaka Boss Rilis Trailer Resmi, Tonjolkan Dinamika Hubungan Ayah dan Anak

1 hari lalu

Mamat Alkatiri, Elsa Japasal, Aurel Mayori, Abdur Arsyad, Chun Funky Papua, dan Ernest Prakasa di acara konferensi pers sekaligus penayangan official trailer film Kaka Boss yang diadakan di Epicentrum, Jakarta Selatan pada Rabu, 24 Juli 2024. TEMPO/Hanin Marwah
Film Kaka Boss Rilis Trailer Resmi, Tonjolkan Dinamika Hubungan Ayah dan Anak

Film Kaka Boss dibintangi oleh Godfred Orindeod tentang drama keluarga dari Indonesia Timur yang tinggal di Jakarta.


Inside Out 2 Kalahkan Frozen 2 sebagai Film Animasi Terlaris Sepanjang Sejarah

1 hari lalu

Film Inside Out 2. Foto: Instagram/@pixar
Inside Out 2 Kalahkan Frozen 2 sebagai Film Animasi Terlaris Sepanjang Sejarah

Inside Out 2 menjadi film animasi terlaris sepanjang masa di box office seluruh dunia setelah mengalahkan Frozen 2.


Selain Drama Korea Our Movie, Ini Deretan Karya Sineas yang Menceritakan Industri Film

1 hari lalu

Poster film The Fabelmans. Foto: Wikipedia.
Selain Drama Korea Our Movie, Ini Deretan Karya Sineas yang Menceritakan Industri Film

Drama Korea Our Movie menambah daftar karya sineas yang menceritakan tentang seluk beluk dunia film.


Film Kaka Boss Berawal dari Keresahan Arie Kriting, tentang Keluarga Indonesia Timur

2 hari lalu

Arie Kriting, Putri Nere, Glory Hillary, dan Godfred Orindeod di acara konferensi pers sekaligus penayangan official trailer film Kaka Boss yang diadakan di Epicentrum, Jakarta Selatan pada Rabu, 24 Juli 2024. TEMPO/Hanin Marwah
Film Kaka Boss Berawal dari Keresahan Arie Kriting, tentang Keluarga Indonesia Timur

Kaka Boss disutradarai oleh Arie Kriting menghadirkan drama keluarga Indonesia Timur yang berfokus pada hubungan ayah dan anak.


Sutradara Incaran untuk Film Baru Avengers, Mengenal Russo Bersaudara

2 hari lalu

Robert Downey Jr. dalam Avengers: Endgame (2019)
Sutradara Incaran untuk Film Baru Avengers, Mengenal Russo Bersaudara

Joe Russo dan Anthony Russo sedang dalam tahap awal pembicaraan dengan Marvel Studios untuk menggarap dua film baru Avengers


Deretan Film Petualangan Doraemon dan Nobita, Variasi Alur Cerita dan Populer

3 hari lalu

Poster film Doraemon: Nobita's Earth Symphony. Foto: Wikipedia
Deretan Film Petualangan Doraemon dan Nobita, Variasi Alur Cerita dan Populer

Doraemon: Nobita's Earth Symphony film ke-43 dari waralaba Doraemon