Lahirnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) tentang Akses Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan merupakan keharusan. Indonesia terikat perjanjian multilateral yang meliputi 139 negara, yang tergabung dalam The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) atau organisasi untuk kerja sama ekonomi dan pembangunan, yang berdiri sejak 1948. Kita terikat perjanjian tersebut sejak 3 Juni 2015.
Komitmen melaksanakan pertukaran informasi keuangan secara otomatis untuk kepentingan perpajakan ini merupakan hasil kesepakatan multilateral, Global Forum on Transparency and Exchange of Information for Tax Purposes, yang mengikat negara anggota OECD. Indonesia berkomitmen menerapkan pertukaran informasi keuangan untuk perpajakan itu mulai 2018 mendatang dan harus mendaftarkan beleidnya kepada OECD sebelum 30 Juni tahun ini.
Sebagai negara yang terikat perjanjian, Indonesia mesti memiliki aturan yang membuat otoritas pajak mempunyai akses atas data nasabah bank ataupun lembaga keuangan non-bank. Kelengkapan ataupun format data itu wajib mengikuti standar baku pelaporan bersama.
Seluruh lembaga keuangan bank dan non-bank melaporkan data ini secara otomatis dan berkala kepada otoritas pajak. Lalu data tersebut akan langsung menjadi basis data perpajakan. Manfaatnya, semua negara yang terikat perjanjian dapat saling bertukar data itu secara otomatis dan bersifat resiprokal. Negara tak bisa lagi membiarkan lembaga keuangan menjadi sarang persembunyian dana untuk menghindari otoritas pajak.
Indonesia seharusnya sudah mengubah undang-undang yang berkaitan dengan keuangan dan perpajakan ini. Tapi pemerintah bergerak lamban dan akhirnya terdesak tenggat. Pemerintah pun terpaksa mengeluarkan aturan krusial tersebut dalam bentuk perpu. Artinya, belum ada kajian yang memadai untuk perubahan aturan sebesar itu.
Jika perpu ini disahkan menjadi undang-undang, sebaiknya hal itu tetap tidak dianggap sebagai produk perundangan yang final. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat harus tetap bersikap terbuka untuk melakukan penyesuaian yang ditemukan jika perpu ini kelak berlaku sebagai undang-undang, mengingat penyusunannya terburu-buru.
Yang tak kalah penting adalah harus ada restrukturisasi otoritas pajak yang kini mempunyai wewenang sedemikian besar. Terbukti masih banyak masalah dan penyelewengan yang dilakukan atau melibatkan aparat pajak. Ketika kepercayaan rakyat terhadap otoritas pajak masih rendah, justru pemerintah sekarang memberikan tambahan wewenang yang luar biasa. Apalagi tingkatan otoritas pajak kita masih eselon I, di bawah menteri keuangan.
Sudah sepatutnya Presiden merestrukturisasi otoritas pajak dengan menjalankan ide membentuk badan perpajakan yang langsung di bawah presiden. Sebab, urusan perpajakan harus steril dari politik. Jika pajak menjadi alat politik, apalagi disusupi partai, hal itu akan menjadi malapetaka pada tata kelola negara Republik Indonesia.