Tulus Abadi
Ketua Pengurus Harian YLKI
Di bawah rezim Presiden Joko Widodo, pemerintah tampak lebih progresif dalam pengurangan bahkan pencabutan subsidi di sektor energi. Ini termasuk juga dalam menetapkan kebijakan harga bahan bakar minyak dan tarif listrik yang didasarkan pada mekanisme pasar: harga minyak mentah dunia, besaran inflasi, dan kurs rupiah terhadap mata uang dolar Amerika. Pada 2018, konon harga elpiji 3 kilogram juga akan ditetapkan berdasar tarif keekonomiannya, alias pencabutan subsidi pada elpiji 3 kilogram.
Kebijakan pencabutan subsidi listrik pada golongan 900 volt ampere (VA), yang diberlakukan sejak 1 Januari 2017, juga langkah yang amat progresif dan berani. Mengapa? Sejak 2003, tarif listrik 450-900 VA belum pernah disentuh, alias tidak pernah ada penyesuaian tarif.
Isu ini lebih dominan menjadi komoditas politik bagi para politikus di Senayan waktu itu. Akibatnya, struktur tarif 450-900 VA lebih besar subsidinya daripada apa yang harus dibayar oleh konsumen. Sebagai contoh, harga satuan per 1 kWh listrik adalah Rp 1.285 per kWh, tapi konsumen golongan 900 VA hanya membayar Rp 585 per kWh. Tidak mengherankan jika gelontoran subsidi listrik pada 2016 sebesar Rp 65 triliun.
Kini, setelah pemerintah mencabut subsidi listrik golongan 900 VA secara terarah, subsidi listrik langsung turun ke kisaran angka Rp 40 triliun. Masih signifikan tapi mampu menghemat Rp 20 triliun. Pencabutan subsidi pada golongan 900 VA tidaklah total karena hanya sekitar 18 juta dari total 22 juta pelanggan yang dicabut subsidinya. Masih ada sekitar 4 juta pelanggan 900 VA yang masih menikmati secara penuh subsidi listrik.
Belum lagi golongan 450 VA, yang berjumlah sekitar 23 juta, masih 100 persen menerima subsidi. Jadi, total konsumen listrik rumah tangga yang menerima subsidi tidak kurang dari 27 juta pelanggan. Jumlah ini masih sangat dominan dari total pelanggan PT PLN yang berjumlah 57 juta.
Namun bukan berarti kebijakan ini tidak menuai kritik. Bukan berarti pencabutan subsidi tersebut 100 persen tepat sasaran. Terbukti, menurut data Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan, terdapat lebih dari 10 ribu komplain dari masyarakat atas kebijakan ini. Mereka keberatan atas pencabutan subsidi karena merasa tidak mampu secara ekonomi.
Itu artinya terjadi ketidaktepatan sasaran dalam pencabutan subsidi listrik. Di sisi lain, terdapat 50 orang yang merasa dirinya tidak tepat diberi subsidi karena merasa mampu dan meminta agar subsidi listriknya dicabut.
Setelah subsidi listrik dicabut, minimal terdapat tiga poin yang harus dievaluasi dan juga rekomendasi terhadap kebijakan pencabutan subsidi listrik 900 VA. Pertama, pemerintah dan PT PLN harus menjamin, setelah pencabutan subsidi listrik, harus ada peningkatan pelayanan kepada konsumen.
Pelayanan PT PLN kepada konsumen harus mengalami peningkatan signifikan. Tidak boleh byar-pet lagi. Sangat tidak adil jika akibat pencabutan subsidi ini konsumen harus membayar tarif listrik berdasar keekonomian. Namun, di sisi lain, pelayanan PT PLN masih endut-endutan.
Kedua, pemerintah harus memberikan jaminan, setelah pencabutan subsidi listrik, rasio elektrifikasi mengalami percepatan dan dengan peta jalan yang jelas. Sampai detik ini, rasio elektrifikasi baru berkisar 85 persen dari total populasi. Percepatan tersebut sangat mendesak untuk dilakukan agar 100 persen masyarakat Indonesia mendapatkan akses listrik. Apalagi setelah tarif listrik yang berlaku berdasar keekonomiannya. Listrik adalah kebutuhan dasar (essential services) yang harus disediakan oleh negara.
Ketiga, pemerintah harus meningkatkan persentase kompensasi terhadap konsumen listrik jika PT PLN--selaku operator--tidak mampu memberikan pelayanan yang andal sebagaimana yang dijanjikan. Saat ini persentase kompensasi hanya 15 persen dari biaya abonemen. Itu masih terlalu kecil karena yang dihitung hanyalah persentase kompensasi atas biaya abonemen, bukan atas total tagihan. Bandingkan dengan kompensasi di Australia. Di sana, kompensasi diberikan 100 persen dari total tagihan jika listrik di Australia padam selama setengah hari secara maraton.
Dalam skala yang lebih besar, pencabutan subsidi dan implementasi tarif keekonomiannya harus dibarengi dengan upaya perwujudan efisiensi di manajemen PT PLN. Jangan sampai konsumen ditekan sedemikian rupa dengan tarif yang mahal tapi tidak dibarengi dengan implementasi efisiensi di manajerial PT PLN, dari hulu hingga hilir. Info adanya pungli dalam upaya penyambungan baru dan tambah daya masih sering terdengar. Atau, lambannya respons atas pengaduan dari konsumen juga masih acap terjadi.
Tanpa peningkatan pelayanan, tanpa peningkatan kompensasi, dan tanpa percepatan rasio elektrifikasi dan efisiensi di PT PLN, pencabutan subsidi listrik hanya akan jadi kebijakan yang tidak adil. Bahkan eksploitatif terhadap masyarakat menengah ke bawah.