Yoga Adiwinarto
Country Director Institute for Transportation & Development Policy
Transjakarta dan MRT (mass rapid transit) adalah sistem transportasi massal yang saling komplementer, bukan saling menggantikan. Wacana untuk menghapus koridor 1 Transjakarta (Blok M-Kota) kembali muncul dalam diskusi Musyawarah Perencanaan Pembangunan DKI Jakarta pada akhir Maret lalu. Kali ini, perwakilan dari Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) mengemukakan wacana tersebut. Dalam argumen BPTJ, jika ada dua moda angkutan yang beririsan, yang memiliki kapasitas lebih besar harus diprioritaskan.
Baca Juga:
Argumen itu masuk akal jika keberadaan Transjakarta dapat mengganggu operasional MRT. Kondisi yang terjadi di Jakarta sama sekali tidak menunjukkan adanya ancaman dari Transjakarta terhadap keberadaan MRT, yang memerlukan biaya sebesar Rp 17 triliun agar dapat dibangun di bawah tanah dan melayang serta menghindari konflik sebidang dengan lalu lintas lain, termasuk dengan Transjakarta.
Saat ini, tidak ada alasan apa pun yang dapat membenarkan penghapusan koridor 1 Transjakarta, baik sebelum maupun setelah MRT beroperasi. Terlebih, ini merupakan koridor utama Transjakarta, tempat 13 rute yang melintas di koridor tersebut dan mengangkut hingga 150 ribu penumpang per hari--tertinggi di antara semua koridor.
Memang benar bahwa sebagian penumpang Transjakarta nantinya berpindah ke MRT, yang beroperasi dari Lebak Bulus hingga Bundaran HI. Namun bagaimana bagi mereka yang masih akan tetap menggunakan Transjakarta? Bukan karena mereka tidak mampu membayar tiket MRT, tapi karena rute MRT tidak menjangkau tempat tinggal atau tujuan mereka. Sebagai contoh, bagaimana penumpang yang saat ini menggunakan Transjakarta rute Bekasi-Bundaran HI, apakah nantinya mereka tidak bisa bepergian lagi karena bus tidak dapat menjangkau Bundaran HI?
Baca Juga:
Di berbagai kota di belahan dunia, pemerintahnya berlomba-lomba untuk memastikan bahwa beberapa moda angkutan umum dapat diimplementasikan di kotanya. Banyak kota yang berhasil membuat gabungan moda tersebut dapat beroperasi secara mumpuni, tidak saling bersaing, tapi justru terintegrasi satu sama lain. Di kota besar seperti Bangkok, Thailand, atau Istanbul, Turki, moda BRT (bus rapid transit), LRT (light rail transit), dan MRT dapat bersinergi satu sama lain untuk menjalankan misi utama mereka, yaitu mengangkut para penumpang agar dapat secara efisien tiba di tempat tujuan.
Posisi Transjakarta (BRT) dengan MRT di Kota Jakarta harus dipandang sebagai sebuah kesatuan. Transjakarta yang mengangkut 123 juta penumpang pada 2016 jelas bukan moda yang dapat disepelekan. Jika dijalankan dengan fasilitas yang sesuai, seperti kapasitas halte yang besar, jalur menyusul, fasilitas pejalan kaki yang memadai, dan sistem pengumpan yang bagus, Transjakarta berpotensi mengangkut penumpang hingga 4,5 juta per hari atau 10 kali dari jumlah yang diangkut saat ini. Ini bukanlah angka yang kecil untuk sebuah kota berpenduduk 10 juta.
Integrasi antarmoda juga bukanlah barang baru di Jakarta. Saat ini, dengan adanya integrasi antara Transjakarta dan Kereta Commuter Jabodetabek (KCJ), penumpang dua sistem tersebut saling diuntungkan ketika harus berganti moda. Setiap hari, ada 2.000 orang yang melakukan perpindahan ini di Stasiun Tosari dan Palmerah.
Di sisi lain, penghapusan koridor 1 Transjakarta di sepanjang koridor Sudirman dan Thamrin justru malah akan menimbulkan kesia-siaan dalam penggunaan ruang. Saat ini, PT MRT Jakarta telah memiliki rencana desain Jalan Sudirman-Thamrin, tempat trotoar selebar 10-15 meter akan dibangun di sepanjang koridor tersebut dan empat lajur untuk kendaraan pribadi serta satu lajur Transjakarta.
Jika Transjakarta dihapus, dapat dipastikan lajur tersebut akan diberikan kepada pengendara kendaraan pribadi, yang selalu mengeluh bahwa tidak pernah ada ruang jalan yang cukup bagi mereka. Hal tersebut jelas akan sangat sia-sia. Sebab, dengan mengubah dari koridor Transjakarta menjadi lajur untuk kendaraan pribadi, kapasitas lajur tersebut untuk memindahkan orang per jam akan berkurang dari 6.000 orang per arah menjadi hanya 1.500 orang per arah.
Jakarta harus kembali menegaskan komitmennya untuk selalu berpihak pada angkutan umum, yang saat ini sudah ditunjukkan dari besaran subsidi untuk Transjakarta yang mencapai Rp 1 triliun per tahun. Gubernur Jakarta yang baru nanti harus selalu mengawal kebijakan gubernur-gubernur pendahulunya di sektor transportasi. Transjakarta, yang dimulai pada era Sutiyoso, jangan sampai akhirnya bubar di gubernur selanjutnya hanya karena sebuah wacana penghapusan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.