TEMPO.CO, Jakarta- Film ‘Birdman’ menjadi meraih empat piala Oscar dari kategori penting, temasuk Film Terbaik 2015. Ini kali kedua sutradara Meksiko berkibar.
***
Film apapun yang menang, Birdman atau Boyhood, tahun ini adalah kemenangan liarnya imajinasi. Sejak sebulan terakhir, delapan nominasi untuk Film Terbaik Academy Awards 2015 telah mengerucut menjadi kedua film itu.
Kemenangan Birdman sudah mulai terasa ketika para pembaca pengumuman Academy Awards ke 87 di Dolby Theater, Los Angeles, AS mengumumkan pemenang Sinematografi, Skenario dan Sutradara disabet habis oleh film yang berkisah tentang aktor veteran yang mencoba meraih kembali keaktorannya dengan menjadi sutradara dan pemain di panggung Broadway.
Yang menarik dicatat dan yang membedakan tahun ini dengan tahun-tahun sebelumnya adalah film-film yang bersinar kali ini adalah karya yang penuh imajinasi dan menekankan sisi artistik seperti Birdman (AlAlejandro González Iñárritu), Boyhood (Richard Linklater) dan The Grand Budapest Hotel (Wes Anderson). Film-film lawannya yang tak kalah bagus adalah film formulaik Hollywood adalah film biopik sejarah tentang tokoh penting, atau berdasarkan kisah nyata seperti film Theory of Everything ( James Marsh), The Imitation Game (Morten Tyldum); Selma ( Ava du Vernay) : Foxcatcher (Bennet Miller); Whiplash (Damien Chazelle) dan American Sniper (Clint Eastwood).
Tiga film pertama kebetulan dibuat berdasarkan skenario asli yang merupakan ide dan visi yang unik; sementara film-film lainnya rata-rata berdasarkan kisah nyata. Theory of Everything adalah perkawinan pertama ahli fisika Stephen Hawking; The Imitation Game bercerita tentang penemu ilmu komputer Alan Turing; Selma adalah satu episode dramatik Martin Luther King Jr; Foxcatcher tentang abang adik pegulat; Whiplash adalah kisah nyata seorang guru musik yang dominan dan keji sementara American Sniper adalah cerita tentang penembak sniper Amerika Chrys Kyle.
Tiga film teratas, berdasarkan jumlah perolehan piala terbanyak , yakni Birdman , Boyhood dan The Grand Budapest Hotel adalah film-film yang berbeda gaya dan genre tetapi memiliki satu persamaan: ketiganya diciptakan dengan ide,bukan dari kisah nyata sehingga para sutradara betul-betul menciptakan sebuah dunia rekaan berdasarkan imajinasi dan mengisi dunia itu hukum-hukum kehidupan baru sesuai jalannya imajinasi itu. Sejak awal film Birdman kita ditabrak oleh adegan aktor Riggan Thomas yang duduk bersila di awang-awang, dengan narator yang terus menerus mengejeknya. Kita memasuki sebuah dunia di mana Ikarus modern yang terbang ke langit dan melesat ke dunia panggung yang hiperbolik dengan segala persoalan benturan ego dan kehidupan pribadi. Inilah dunia rekaan yang diciptakan Iñárritu. Film Boyhood, yang dibuat selama 12 tahun dengan aktor dan aktris yang sama, mengikuti perjalanan hidup seorang anak bernama Mason dari masa kanak-kanak hingga lulus SMA. Bukan ketekunan sutradara Richard Linklater saja yang teruji, namun menyaksikan kehidupan sehari-hari perkawinan sang ibu yang berkali-kali pecah dari mata seorang anak lelaki itu ditampilkan dengan realistik, bersahaja dan menyentuh.
Dengan film Boyhood kita merasakan; sementara dengan film Birdman kita menyaksikan sebuah karya seni.
Keduanya memiliki kekuataannya masing-masing, tetapi harus diakui film Boyhood akan lebih melekat di hati karena kisahnya lebih universal dan lebih mewakili setiap anak yang menyaksikan ibunya yang melalui berbagai perkawinan yang pecah; setiap isteri dan ibu yang senantiasa salah memilih pasangan dan mudah menyalah-nyalahkan diri karenanya; setiap lelaki yang dengan mudah memperlakukan isteri seperti kesetan kaki. Tak harus penonton Amerika saja, penonton di pojok manapun di dunia memiliki cerita seperti Boyhood, dan itulah sebabnya Linklater justru berhasil menciptakan dunia imajinasi yang terasa nyata.
Bagaimanapun, seperti saya katakan tadi, siapapun yang menang apakah Birdman, Boyhood atau bahkan The Grand Budapest Hotel, tahun ini para pemilih Academy nampaknya telah menggeser selera dan tradisi sebelumnya ke arah yang lebih unik, lebih berani, lebih dalam. Kali ini mereka memilih kekuatan imajinasi liar.
Leila S.Chudori
IKARUS DAN INARRITU
BIRDMAN
Or The Unexpected Virtue of Ignorance
Sutradara : Alejandro Gonzalez Inarritu
Skenario :Alejandro González Iñárritu, Armando Bo , Nicolás Giacobone, Alexander Dinelari
Pemain : Michael Keaton, Edward Norton, Emma Stone, Naomi Watts, Zach Galifianakis
***
Jendela dibuka. Angin menerpa wajah. Sam mencari ayahnya yang barangkali saja menjatuhkan diri dari ketinggian gedung itu. Tak ada. Perlahan mata Sam lantas menatap ke langit. Lalu dia tersenyum.
Pada saat itulah kita menyimpulkan: Riggan Thomson melayang di udara seperti seorang Icarus. Bukan sekedar Birdman, burung buatan Hollywood yang belagak menjadi superhero, pahlawan ajaib dari komik yang membuatnya menjadi pujaan dunia puluhan tahun lalu. Di panggung teater itu, Thomson ingin menemukan dirinya kembali sebagai aktor, sebagai sutradara, sebagai seseorang yang mampu mengontrol nasibnya dan nasib masa depan karirnya sebagai seniman. Caranya? Riggan Thomson (Michael Keaton) mencoba mengangkat cerita pendek Raymond Carver What We Talk About When We Talk About Love ke atas panggung Broadway. Bak seekor burung, Birdman yang sudah gundul kehabisan bulu sayap untuk terbang, Riggan mencoba meniupkan ruh ke dalam dirinya yang sudah dianggap sebagai aktor yang “tidak relevan, tidak penting” karena tidak memiliki halaman di Facebook maupun Twitter, demikian tuduh Sam (Emma Stone) kepada sang ayah.
Pilihannya untuk menjadi sutradara dan aktor dalam drama di Broadway ini adalah upayanya terbang seperti Ikarus. Riggan mengira, matahari yang panas yang bakal melelehkan sayapnya itu adalah kritikus teater yang sadistik seperti Tabitha Dickinson (Lindsay Duncan) yang mengaku akan menghancurkan pertunjukan itu tanpa menyaksikannya. Ternyata ‘matahari’ yang bisa melelehkan sayapnya adalah sebuah ‘suara’ yang terus-menerus mengejarnya.
Ide liar untuk mengangkat sebuah cerita tentang hari-hari menjelang pementasan sebuah drama ini diperoleh sekejap. Sutradara Alejandro González Iñárritu telah lelah menyutradarai film-film drama yang muram seperti Amores Perros (2000); 21 Grams (2003); Babel (2006) dan Biutiful (2010), sutradara asal meksiko itu ingin menampilkan drama komedi hitam.
Humor di dalam film ini tentu saja bukan seperti film komedi biasa; bahkan tak seperti komedi Woody Allen yang tangkas, melainkan humor yang terselip dengan subtil di antara kepahitan. Misalnya munculnya aktor Mike Shiner (Edward Norton),seorang aktor luar biasa yang memiliki ego besar hingga dia yang mengatur-atur adegan dan memanipulasi sutradara; atau adegan tempat tidur antara Mike dengan Lesley (Naomi Watts) yang cilakanya membuat Mike kepingin begituan dan membuat penonton teater ngakak karena dengan jelas bisa melihat jendulan di balik celananya. Tetapi humor Inarritu tak segamblang itu. Sesekali humor itu terselip di antara dialog panjang, bahkan pertengkaran intelektual yang saling mengejek antar generasi (“saya tahu, untuk generasi kalian, yang penting bisa viral,” Riggan menyentak Sam, puterinya, bekas pecandu narkotika yang sedang mencoba hidup berjauhan dari racun itu.)
Film ini dibuat seolah-olah dengan satu rekaman panjang tanpa suntingan; padahal tentu saja Inarritumembuat rekaman satu shot panjang untuk banyak adegan. One shot wander memang menjadi salah satu sidik jari Iñárritu, sehingga hal-hal yang kecil, yang tak bisa dilakukan dalam sebuah latihan, bisa tertanggap dengan satu rekaman panjang. Keseharian Riggan, kegelisahan dan jiwa yang bergolak terekam tajam ketika dia melalui lorong-lorong sempit dan gelap di balik panggung; juga saat dia meletakkan rambut palsu di atas kepala gundulnya dan mengokang senjata ke pelipisnya di atas panggung.
Serangkaian pemain dalam film hampir tak ada cacat: Michael Keaton, Emma Stone, Naomi Watts, Edward Norton, , Zach Galifianakis adalah serangkaian pemain yang faham kapan muncul sebagai kelompok atau monolog yang menggelikan. Di dalam film ini,mereka adalah aktor, bukan bintang film.
Tentu Inarritu,sengaja atau tidak, mengaburkan batas realita dan panggung teater. Adegan perkelahian, pertengkaran di atas dan di belakang panggung sama-sama teaterikal, sama-sama harus menjerit hingga bola mata nyaris menggelinding (tengok Emma Stone yang membentak-bentak ayahnya. Tapi memang dalam hidup, kita ternyata menyukai dramatisasi. Birdman yang meraih empat piala Oscar tahun ini, termasuk Skenario, Sutradara dan Film Terbaik ini memang bukan sebuah film yang langsung bisa dinikmati dengan sekali tonton. Menyaksikan film ini memberi perasaan kita memasuki lorong gelap panjang tak berkesudahan, dan muncul keinginan untuk membebaskan diri seperti Ikarus, terbang ke udara mendekati sumber cahaya.
Leila S.Chudori