Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Sebuah Adaptasi yang Sia-sia  

Oleh

image-gnews
Iklan

TEMPO.CO, JakartaFilm produksi Prancis ini, amat disayangkan, gagal menerjemahkan dongeng yang justru lahir dari negaranya sendiri. Pemain dengan nama besar tapi penggarapan dan skenarionya lemah.

*** 

“A life for a rose.”

Demikian La Bête Si Buruk Rupa (Vincent Cassel) meraung. Ayah Belle, La Marchand, kembali ke rumah dan dengan murung menceritakan kepada enam anaknya tentang ancaman makhluk besar buruk muka gara-gara sang ayah mencuri setangkai bunga mawar untuk Belle di istana milik La Bête. Tentu saja Belle, anak perempuan kesayangan sang pedagang, menawarkan diri untuk menjadi “tawanan” Si Buruk Rupa karena merasa bersalah telah meminta setangkai mawar dari ayahnya.

Akibatnya: a life for a rose. Satu jiwa ditukar dengar seharga setangkai mawar.

Belle merasa harus bertukar diri dengan ayahnya sebagai tawanan Si Buruk Rupa, yang sejarahnya terkuak perlahan selama menetap di istana megah yang gelap dan kelam itu. Melalui sebuah kaca, Belle seperti dipersilakan menjenguk ke masa silam Si Buruk Rupa, yang ternyata seorang pangeran beristri seorang cantik jelita. Seperti dongeng di Indonesia juga, sang istri cantik melarang Pangeran yang gemar berburu itu untuk memburu seekor kijang emas cantik yang sudah lama diincar Pangeran dan kawan-kawannya. Tentu saja peringatan itu tak diindahkan. Kijang dihajar dengan panah, dan si kijang emas berubah menjadi... si cantik yang telanjang, berdarah, yang kemudian membuat Pangeran meraung ke langit....

Kisah Belle et la Bete atau Beauty and the Beast yang sedang ditayangkan di bioskop Indonesia ini sebetulnya produksi tahun 2014 yang mengambil cerita versi Gabrielle-Suzanne Barbot de Villeneuve (1740). Itulah sebabnya ada beberapa kisah latar belakang Si Buruk Rupa dan bahkan keluarga Belle yang sangat berbeda dengan cerita yang kita kenal umumnya. Film animasi Beauty and the Beast versi Disney (Gary Trousdale dan Kirk Wise, 1991) dengan penyanyi Broadway Paige O’Hara sebagai pengisi suara Belle, dan Robby Benson sebagai Si Buruk Rupa, mengambil versi Jeanne-Marie Le Prince de Beaumont (1756). Film yang kemudian meledak dan menjadi film animasi pertama yang dinominasikan sebagai Film Terbaik Academy Award, selain juga lima nominasi lain. Keberhasilan film ini kemudian membawanya ke Broadway dan menjadi salah satu pertunjukan musikal yang berhasil yang kini akan menyambangi Indonesia.

Cerita Beauty and the Beast versi Beaumont jelas lebih “ringan”—dan karena itu lebih mudah diangkat sebagai format musikal—tetapi juga mendekati dongeng yang cocok untuk semua umur. Sedangkan versi de Villeneuve lebih redup, kelam, dan mengandung beberapa subplot dongeng yang ternyata tak jauh dengan berbagai dongeng Asia. Namun versi yang lebih gelap ini ternyata tak berhasil dibuat sebagai karya yang mengandung dinamit.

Dimulai dengan adaptasi cerita Villeneuve menjadi skenario dalam film ini saja sudah menjadi problem. Sutradara Gans mencoba membukanya dengan tokoh yang diperankan Léa Seydoux di sebuah “masa kini” mendongeng kepada anak-anaknya tentang seorang pangeran yang terkutuk menjadi “binatang” Si Buruk Rupa. Tak jelas tujuan sutradara membuat prolog seperti ini, karena kita toh sudah tahu yang berperan sebagai Belle kelak adalah Léa Seydoux juga. Problem kedua, dan sangat penting, sang sutradara dan penata kostum menggunakan kostum film untuk panggung. Sang pangeran seperti mengenakan topeng berbulu belaka seperti kostum Halloween, sementara Léa Seydoux, yang namanya sedang harum berkat perannya dalam film pemenang Palm D’or 2013 Blue is the Warmest Colour, bukan hanya tak bisa bergerak di dalam korset yang tampak mengekang, tapi juga tak bisa mennggeliat dari skenario yang mengurungnya dalam dialog yang banal dan klise.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pada dasarnya cerita Beauty and the Beast, pada semua versi, sering dikritik sebagai sebuah dongeng yang mengandung “Stockholm Syndrome”: Belle yang ditawan akhirnya mencintai Si Buruk Rupa yang memenjarakannya. Di masa lalu tentu saja “Stockholm Syndrome” belum dianggap masalah psikologi yang problematik seperti sekarang. Karena itu sangat penting bagi sutradara modern untuk menekankan problem psikologi Sang Pangeran Buruk Rupa. Tak ada justifikasi untuk sebuah penculikan atau penawanan, tetapi film-film yang mengangkat tema seperti ini semacam Tie Me Up, Tie Me Down (Pedro Almodovar, 1990), yang menceritakan seorang aktris yang ditawan fans fanatiknya, berhasil membuat penonton mencoba menggali kejiwaan sang penculik, ada apa gerangan yang bergolak di otaknya hingga menculik dan menawan gadis cantik itu.

Film Beauty and the Beast versi 2014 dengan bahasa Prancis sebagai bahasa pengantar–sementara yang di bioskop entah mengapa harus disulih suara dengan bahasa Inggris—berupaya menggebrak dengan visual. Yang terjadi adalah kekonyolan.

Vincent Cassel sebagai Si Buruk Rupa seolah tengah mengenakan topeng mainan anak-anak itu lebih mirip aktor yang sedang bermain dalam film Fifty Shades of Grey untuk pesta Halloween. Serangkaian subplot yang diotak-atik sutradara juga tak ada gunanya selain sutradara Gans ingin memperlihatkan dialah kreator film ini—penyakit yang perlu dibasmi—misalnya: jumlah anak si pedagang seharusnya hanya tiga, maka oleh Gans diubah menjadi enam. Buat apa? Hanya untuk menunjukkan bahwa pada awal abad ke-19 orang gemar beranak pinak?

Babak ketiga film ini yang berupaya “memaksimalkan” teknologi CGI (computer-generated imagery) justru memberi contoh bagaimana teknologi malah memperburuk sebuah film jika digunakan berlebihan.

Film ini juga merasa harus menampilkan “the real villain”, penjahat sesungguhnya, (yang tentu saja bukan Si Buruk Rupa) si lelaki  bercodet di wajah itu juga tak ada gunanya, sama mubazirnya dengan adik kakak Belle yang digambarkan manja dan tukang buang duit. Mereka semua itu pada akhirnya cuma tambahan karena toh Si Buruk Rupa akan bisa kembali jadi pangeran jika ada yang mencintainya.

Bahkan film Beauty and the Beast versi Jean Cockteau (1946) yang masih hitam putih dan menggunakan konsep panggung itu masih lebih enak ditonton, karena semua visualisasi dan kostum sesuai dengan konsep.

Kekecewaan ini mungkin bisa kita buang saja karena tahun depan Bill Condon akan memulai syuting adaptasi film musikal versi baru Beauty and the Beast dengan Emma Watson sebagai Belle, Dan Stevens sebagai Si Buruk Rupa, Kevin Kline sebagai ayah Belle, Maurice dan Emma Thompson sebagai Mrs Pott. Dengan nama-nama yang menjanjikan ini, dan juga reputasi Bill Condon menggarap Sister, Sister (1987), Kinsey (2004), dan Dream Girls  (2006)--sembari kita pura-pura melupakan Condon juga pernah ikut membuat The Twilight Saga: Breaking Dawn I dan II--mudah-mudahan versi ini akan menghilangkan kenangan buruk kita terhadap versi Christophe Gans.

Leila S. Chudori

BEAUTY AND THE BEAST
(Belle et la Bete)

Sutradara: Christophe Gans

Skenario: Christophe Gans dan Sandra Vo-AnhBerdasarkan kisah yang ditulis Gabrielle-Suzanne Barbot de Villeneuve (1740)

Pemain: Vincent Cassel (La Bête atau The Beast), Léa Seydoux (Belle), André Dussollier (Le Marchand, ayah Belle)

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Sinopsis dan Pemain Film Korea Dead Man, Angkat Kasus Penggelapan Uang

10 jam lalu

Film Dead Man. Dok. Vidio
Sinopsis dan Pemain Film Korea Dead Man, Angkat Kasus Penggelapan Uang

Film Korea Dead Man mengikuti kisah menegangkan Cho Jin Woong dan Kim Hee Ae yang terjebak kasus penggelapan uang.


Cerita Lukman Sardi Tinggal dengan Orang Tua Angkat saat Syuting Kabut Berduri

1 hari lalu

Lukman Sardi setelah private screening film Kabut Berduri di Jakarta, Kamis, 11 Juli 2024. Dok. Netflix
Cerita Lukman Sardi Tinggal dengan Orang Tua Angkat saat Syuting Kabut Berduri

Lukman Sardi menceritakan pengalamannya yang sangat berkesan ketika tinggal di Rumah Panjang saat syuting film Kabut Berduri di Kalimantan.


Transformasi Timothee Chalamet sebagai Bob Dylan dalam Trailer A Complete Unknown

1 hari lalu

Timothee Chalamet sebagai Bob Dylan dalam trailer film A Complete Unknown. Foto: YouTube
Transformasi Timothee Chalamet sebagai Bob Dylan dalam Trailer A Complete Unknown

Perubahan penampilan Timothee Chalamet yang mengikuti gaya berpakaian Bob Dylan dalam trailer A Complete Unknown.


Film Kaka Boss Rilis Trailer Resmi, Tonjolkan Dinamika Hubungan Ayah dan Anak

1 hari lalu

Mamat Alkatiri, Elsa Japasal, Aurel Mayori, Abdur Arsyad, Chun Funky Papua, dan Ernest Prakasa di acara konferensi pers sekaligus penayangan official trailer film Kaka Boss yang diadakan di Epicentrum, Jakarta Selatan pada Rabu, 24 Juli 2024. TEMPO/Hanin Marwah
Film Kaka Boss Rilis Trailer Resmi, Tonjolkan Dinamika Hubungan Ayah dan Anak

Film Kaka Boss dibintangi oleh Godfred Orindeod tentang drama keluarga dari Indonesia Timur yang tinggal di Jakarta.


Inside Out 2 Kalahkan Frozen 2 sebagai Film Animasi Terlaris Sepanjang Sejarah

1 hari lalu

Film Inside Out 2. Foto: Instagram/@pixar
Inside Out 2 Kalahkan Frozen 2 sebagai Film Animasi Terlaris Sepanjang Sejarah

Inside Out 2 menjadi film animasi terlaris sepanjang masa di box office seluruh dunia setelah mengalahkan Frozen 2.


Selain Drama Korea Our Movie, Ini Deretan Karya Sineas yang Menceritakan Industri Film

1 hari lalu

Poster film The Fabelmans. Foto: Wikipedia.
Selain Drama Korea Our Movie, Ini Deretan Karya Sineas yang Menceritakan Industri Film

Drama Korea Our Movie menambah daftar karya sineas yang menceritakan tentang seluk beluk dunia film.


Film Kaka Boss Berawal dari Keresahan Arie Kriting, tentang Keluarga Indonesia Timur

2 hari lalu

Arie Kriting, Putri Nere, Glory Hillary, dan Godfred Orindeod di acara konferensi pers sekaligus penayangan official trailer film Kaka Boss yang diadakan di Epicentrum, Jakarta Selatan pada Rabu, 24 Juli 2024. TEMPO/Hanin Marwah
Film Kaka Boss Berawal dari Keresahan Arie Kriting, tentang Keluarga Indonesia Timur

Kaka Boss disutradarai oleh Arie Kriting menghadirkan drama keluarga Indonesia Timur yang berfokus pada hubungan ayah dan anak.


Sutradara Incaran untuk Film Baru Avengers, Mengenal Russo Bersaudara

2 hari lalu

Robert Downey Jr. dalam Avengers: Endgame (2019)
Sutradara Incaran untuk Film Baru Avengers, Mengenal Russo Bersaudara

Joe Russo dan Anthony Russo sedang dalam tahap awal pembicaraan dengan Marvel Studios untuk menggarap dua film baru Avengers


Deretan Film Petualangan Doraemon dan Nobita, Variasi Alur Cerita dan Populer

3 hari lalu

Poster film Doraemon: Nobita's Earth Symphony. Foto: Wikipedia
Deretan Film Petualangan Doraemon dan Nobita, Variasi Alur Cerita dan Populer

Doraemon: Nobita's Earth Symphony film ke-43 dari waralaba Doraemon


5 Manfaat di Balik Menonton Film Horor

4 hari lalu

Bulan Juni siap-siap dengan deretan film bagus dan menarik. Berikut ini rekomendasi film bioskop di bulan Juni 2024 dari genre romantis hingga horor. Foto: Canva
5 Manfaat di Balik Menonton Film Horor

Sebuah studi mengungkapkan menonton film horor dapat bermanfaat untuk kesehatan mental seseorang.