POKEMON Go membuat banyak orang resah. Orang-orang biasa, bupati, gubernur, menteri, kepala kepolisian, atau kepala intel, semuanya resah dan melarang games ini dimainkan. Ada yang memakai alasan merusak konsentrasi kerja, mengganggu pelayanan, tempat kerja bukan taman bermain, membahayakan negara, dan seterusnya.
Saya juga resah. Padahal, di saat teknologi sedemikian canggih sekarang ini, saya justru tak pernah bermain games di komputer, apalagi di handphone. Awal munculnya komputer, saya hanya bermain Digger dan Pac-Man. Kini tak ditemukan lagi permainan itu.
Saya menuangkan keresahan kepada Romo Imam, siapa tahu ada solusi. Saya awali dengan cerita bahwa saya kurang berhasil membuat cucu-cucu saya meninggalkan tabletnya. Ada lima cucu dari dua anak, terbesar kelas V SD, terkecil baru TK. Semuanya dibekali tablet oleh orang tuanya yang "super-sibuk". Tak diperlukan lagi pengasuh anak-anak, dan tablet itulah gantinya.
Kelima cucu saya suka berkumpul, tapi jarang bermain bersama, seperti ketika saya seusia mereka suka bermain pistol-pistolan dari pelepah pisang. Cucu kumpul, tapi pada diam. Semua asyik dengan tabletnya. Kalau pulang kampung bersama, saya memutar video wayang kulit di mobil. Maksud saya supaya paham budaya Nusantara. Tapi mereka tetap asyik dengan tabletnya. Eh, orang tuanya juga asyik ngetweet dan fesbukan.
Cucu paling besar sukanya games, entah jenis apa. Adiknya gemar video lucu di YouTube, lalu ketawa sendiri. Yang paling kecil juga kontak YouTube. Yang digemari Upin & Ipin, tak kenal bosan. Bahkan ada channel interaktif berlogat Malaysia dan cucu saya itu ngobrol dengan tablet--saya yakin yang menjawab mesin. Kalau saya tegur, cucu saya menjawab dengan logat Malaysia: "Datuk, janganlah ganggu awak..."
Romo Imam mulai bertanya: "Berapa habis pulsa sebulan?" Saya katakan, di rumah ada Wi-Fi gratis untuk pendeta, entah sumbangan PT Telkom atau dibayar organisasi umat. Keluar dari rumah juga ada banyak Wi-Fi gratis di tempat umum atau pasar modern. Selain itu, cucu saya dibekali "paket hemat Internet" hanya Rp 10 ribu sebulan untuk 500 megabyte. Praktis, leluasa untuk Internet-an. Hanya, di sekolah tak bisa karena guru melarangnya, bahkan handphone dan tablet dikumpulkan di depan kelas.
Tiba-tiba Romo bereaksi: "Tiru cara guru di sekolah. Pada waktu tertentu, tarik semua tabletnya." Saya katakan, itu sulit. Pernah suatu kali saya bilang, "Ayo berhenti main Internet, taruh semua tablet". Lalu ada yang jawab: "Suruh dulu Bapak dan Mamak menaruh hape-nya." Cucu lain menimpali: "Kakek, kok juga suka mencet-mencet hape?"
Kepada Romo, saya membela diri. Saya ikutan ngetweet dan fesbukan untuk mencari informasi dan memberikan pencerahan kepada umat (untuk bagian ini saya ucapkan sedikit malu karena agak berlebihan), bukan menebar kebencian. Cucu saya itu hanya bermain-main. Romo jadi tertawa: "Sampeyan ini bagaimana sih, itu sudah kewajiban setiap orang, sesuai dengan tugasnya. Anak-anak seusia begitu memang tugasnya bermain. Alat mainnya disediakan zaman; dulu pistol dari pelepah pisang, sekarang pakai teknologi."
Saya terperanjat. "Bagaimana dong, Romo?" Romo menasihati: "Ketimbang resah, lebih baik para orang tua dan pemimpin memberi contoh. Jangan main larang, yang justru membuat orang penasaran. Teknologi sulit dibendung. Lebih baik mengarahkan. Namanya permainan, sebentar lagi diganti permainan baru, apa keresahan juga bersambung? Khusus Pokemon Go, teliti yang benar. Kalau membahayakan negara, blokir. Jangan banyak debat."