Toriq Hadad
@thhadad
Surat panjang itu mampir ke WhatsApp saya. Pengirimnya: istri saya. Saya kaget. Selama ini dia belum pernah menulis sepanjang itu. Dan rasanya rumah tangga kami baik-baik saja. Setoran gaji bulanan pun masih aman-aman saja. Apa yang diprotes?
Ternyata bukan surat protes. Itu surat pamit Anies Baswedan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang baru bekerja 20 bulan tapi sudah ikut kena reshuffle. Anies menulis untuk guru, kepala sekolah, dan tenaga pendidik. Rupanya dalam waktu singkat surat itu menyebar, dari kalangan pendidiktermasuk istri saya yang mantan gurusampai ke segala penjuru Tanah Air.
Saya lega ini bukan soal "domestik" rumah tangga. Tapi kiriman pesan WhatsApp berikutnya dari istri membuat saya pusing kepala. "Kenapa sih menteri yang baik dan pintar diganti, yang membuat harga daging mahal malah nggak dicopot. Tolong tanyakan ke Presiden Jokowi. Bilang ya ini suara ibu-ibu."
Ini "penugasan" berat, jatuh gengsi saya sebagai wartawan kalau tak sanggup menjawab. Saya pun mulai kasak-kusuk, mencari info seputar reshuffle kabinet Rabu Pon lalu itu. Sumber resmi, setengah resmi, yang layak kutip sampai tak layak dipercaya saya kontak. Celakanya, tentang penggantian Anies Baswedan, tidak ada info yang masuk akal. Mereka hanya bilang: itu soal politik, hanya Presiden yang tahu persis.
Kalau sumber sudah bilang begitu, jawaban berikutnya harus dianggap sebagai "analisis, harapan, keinginan, atau malah angan-angan". Misalnya tentang Sri Mulyani yang akhirnya mau dibujuk masuk kabinet. Info yang kelasnya "analisis" bilang begini: itu karena Presiden Jokowi bisa meyakinkan Sri Mulyani bahwa pemerintah akan mempertahankan dia kalau ada suara yang mempertanyakan kebijakan Sri Mulyani di masa lalu dalam kasus bailout Bank Century. Kesan yang tercipta, kata sumber ini, pemerintahan lalu "membiarkan" Sri Mulyani pergi ke Bank Dunia, pemerintah Jokowi berhasil membawanya pulang.
Baca Juga:
Bagaimana pula dengan Golkar yang dulu getol mempersoalkan Sri Mulyani? Sumber ini bilang: Golkar sekarang berbeda dengan zaman Aburizal Bakrie. Golkar masa kini sudah bisa ditangani Presiden Jokowi, malah kabarnya sudah mendukung Jokowi untuk kembali menjabat pada 2019. Saya cuma manggut-manggut mendengar "analisis" ini.
Info kelas "harapan, keinginan, atau angan-angan" bilang seperti ini: Sri Mulyani mau bergabung karena, selain menteri keuangan, dia dijanjikan jabatan wapres untuk 2019. Ini soal strategi besar. Bukan tidak mungkin dalam pemilihan presiden nanti banyak partai akan mengusung perempuan. Partai Demokrat bisa mengusung Bu Ani Yudhoyono, kalau PDI Perjuangan maju sendiri mungkin saja akan menjagokan Puan Maharani. Sri Mulyani sangat pantas bersaing kalau dia berpasangan dengan Jokowi. Kata sumber saya, ini contoh pikiran out of the box dari Presiden. Angan-angan begini memang asyik didengar, tapi terus terang saya tidak percaya.
Tentang masuknya Wiranto dalam kabinet, sumber lain tidak menjawab saya tapi malah melontarkan "analisis". "Pemerintah Jokowi menolak Soeharto sebagai pahlawan, boleh dong Wiranto sebagai bekas ajudan Soeharto mendapat penghormatan. Ya, anggap saja pelipur lara untuk mereka yang masih bercita-cita menjadikan Soeharto pahlawan." Saya juga tidak percaya analisis serampangan begini.
Lantaran sibuk cari info ini, malam itu saya pulang sangat larut. Seisi rumah sudah lelap. Aman. Tapi hanya beberapa jam. Di pagi hari, begitu melek mata, istri saya sudah tak sabar menunggu: jadi kenapa Anies Baswedan diganti?