PUTU SETIA @MPUJAYAPREMA
Kerusuhan di Tanjungbalai, Sumatera Utara, menyisakan satu hal yang sering dilupakan: cinta kasih. Vihara dan kelenteng dirusak, dibakar, serta dijarah. Lalu seorang "wanita tua" yang ikut membangun Vihara Tri Ratna yang dirusak itu memberi jawaban atas pertanyaan seseorang. "Kita harus berterima kasih kepada orang yang membakar itu. Karena tempat itu sekarang menjadi ladang untuk menanam karma baik, yang sangat luar biasa bagi siapa pun yang akan membangun kembali vihara itu."
Kalimat tersebut diunggah di media sosial dan dibagikan berkali-kali. Mungkin jutaan orang sudah membacanya. Si "wanita tua" sama sekali tidak marah dan berkata: "Sila pertama dari agama Buddha adalah metta, cinta kasih. Orang yang membakar akan menerima karmanya."
Saya langsung terharu, syukur tak menangis. Sempat bertanya tolol dalam hati, kenapa Tuhan menciptakan begitu banyak agama di bumi ini? Agama saya bukan Buddha. Tapi kata "karma" itu salah satu dari lima dasar agama saya, sesuatu yang absolut bahwa seseorang yang berkarma jelek pasti buruk pula yang didapatnya kelak. "Karma Phala", atau buah dari perbuatan, pasti akan diterima seseorang, kalaupun tidak dalam hidup ini, di akhirat (atau di kehidupan mendatang kalau percaya ada reinkarnasi) pasti akan mendapat pahala.
Pertanyaan tolol saya dalam hati sempat pula dijawab oleh hati sendirirupanya hati saya suka monolog. Begini jawabnya: "Tuhan menciptakan bermacam perbedaan, termasuk banyak agama, agar kalian bisa memilihnya dengan nyaman sesuai dengan apa yang diyakini benar. Lewat perbedaan itulah kalian bisa saling mengenal."
Jika begitu, Tuhan menciptakan beragam agama bukan untuk membuat umat-Nya saling bermusuhan dan semua ajaran agama menuju pada kedamaian berdasar kasih. Buddha menyebutnya dengan istilah metta. Agama saya menyebutnya prema. Agama lain pasti istilahnya beda lagi. Ya, Tuhan, seharusnya persamaan ditonjolkan. Kenapa di negeri majemuk ini perbedaan, yang memang pasti ada, yang sering diperdebatkan?
Si "wanita tua" berbicara tentang kasih menanggapi perusakan vihara. Ini sangat dalam, apalagi ada kalimat "orang yang membakar akan menerima karmanya". Sesungguhnya ini kemarahan yang tak kepalang. Tapi para biksu, pendeta, atau ulama membalut kemarahan itu dengan damai karena hatinya dikendalikan dengan kasih. Kalau bahasa itu diucapkan oleh "orang kebanyakan", mungkin kalimatnya begini: "Lu bakar vihara gue, rasain nanti balasannya..." Lebih sadis lagi kalau di media sosial yang penuh penuh caci maki, bisa begini: "kalian bangs*t emang gw ga bisa bakar punya ente".
Kasih jauh dari dendam, bahkan kasih membuat orang tak memelihara dendam. Para pujangga era Majapahit punya ungkapan yang bagus: "Kalau kamu dilempar dengan kotoran, balaslah dengan melempar bunga". Kejahatan bisa diredam dengan kasih. Kejahatan yang selalu dibalas dengan kejahatan dengan maksud meredamnya bisa jadi tidak berkurang karena dendam tetap membara meski bisa disembunyikan.
Tiba-tiba hati saya berbisik. Kalau begitu, bisakah kejahatan seperti teror, pemerkosaan, narkoba, dan sebagainya didekati dengan kasih? Dor dilawan dengan dor, maka keluarga dan pengikut yang kena dor akan menyimpan dendam yang suatu saat akan disalurkan. Bandar narkoba ditembak mati berjilid-jilid (sampai ada "jilid tiga penangguhan"), apakah peredaran narkoba serta-merta bisa berkurang? Cobalah pendekatannya tidak dengan dendam, tapi dengan kasih, tunjukkan bahwa itu karma buruk. Ya, siapa tahu Tuhan lebih senang dan meridainya.