Mogok operasi bus Transjakarta sangat disesalkan. Hal ini terjadi di tengah upaya terus-menerus untuk mendorong pengguna jalan di Jakarta berpindah dari kendaraan pribadi ke angkutan umum. Jangan biarkan kepercayaan masyarakat Ibu Kota yang semakin tinggi untuk mau berkendara dengan bus umum, yang telah dirintis sejak pendirian Transjakarta pada 2004, kembali berantakan.
Tindakan tegas memang harus dilakukan. Mogok seharusnya menjadi jalan terakhir ketika aspirasi karyawan tak bertemu dengan kebijakan perusahaan. Disebut terakhir, karena layanan publik tetaplah nomor satu. Tapi apa yang dilakukan ratusan karyawan Transjakarta pada Senin lalu pantas disesalkan. Mogok dilakukan bak tanpa angin tanpa hujan.
Tentu tak cukup mengecam dan mengancam karyawan yang mogok itu. Ada masalah serius yang mendesak untuk diatasi. Pertama, pentingnya dibentuk serikat pekerja di Transjakarta untuk mencegah kesalahpahaman yang bisa berdampak hingga ke layanan. Serikat pekerja diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Organisasi ini dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja atau buruh, baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab. Serikat bisa menjalankan komunikasi dengan manajemen ihwal hubungan industrial guna memperjuangkan, membela, serta melindungi hak dan kepentingan pekerja atau buruh secara lebih terarah.
Kedua, PT Transportasi Jakarta harus memperhatikan akar penyebab mogok. Yang krusial adalah munculnya masalah ketidakjelasan status karyawan. Separuh lebih dari total 6.200 pekerja Transjakarta bukanlah pegawai tetap. Padahal mereka sudah bekerja bertahun-tahun, bahkan ada yang masa kerjanya hampir seusia Transjakarta. Hal ini jelas menabrak aturan dalam undang-undang yang membatasi masa kontrak, atau Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu, paling lama tiga tahun. Selewat masa itu, status karyawan menjadi pegawai tetap.
Pemerintah Jakarta sebagai pemegang saham harus memperhatikan urusan mendasar di perusahaan ini. Hak karyawan tak boleh tercecer di antara misi besar membenahi transportasi. Masalah kesejahteraan dan status karyawan yang diatasi hanya dengan cara otoriter biasanya akan berumur pendek. Hari ini karyawan Transjakarta yang mogok mungkin takut akan ancaman. Tapi, kalau masalah ketidakadilan tak ditangani dengan baik, mungkin hanya akan menyimpan api dalam sekam yang suatu saat bisa meledakkan masalah lebih besar.
Pemogokan karyawan selama dua jam Senin lalu saja sudah membuat jumlah penumpang anjlok hingga sekitar 30 ribu. Bayangkan jika penumpang itu dikonversi ke jumlah mobil atau sepeda motor. Sebagai penggerak transportasi publik di Ibu Kota, Transjakarta tentu harus menghindari kembalinya penumpang ke kendaraan pribadi. Pencapaian selama 13 tahun Transjakarta dengan volume penumpang yang terus menanjak tak perlu ternoda oleh konflik manajemen dengan karyawan.