Kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy ihwal sekolah lima hari memicu keresahan publik. Banyak pihak merasa persiapan dan sosialisasi sistem baru ini terburu-buru. Ketika pro-kontra masih merebak, pemerintah sudah memastikan pada tahun ajaran baru mendatang siswa bersekolah delapan jam sehari, lima hari sepekan.
Keberatan khalayak ramai atas sekolah lima hari ini didasari sejumlah hal. Pertama, belum ada uji publik yang memadai tentang Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah ini. Hasil kajian soal dampak kebijakan baru ini, kalaupun ada, tak pernah disampaikan kepada masyarakat. Padahal soal ini penting karena di banyak negara justru terjadi tren kebalikannya. Di Finlandia, negara dengan sistem pendidikan yang disebut terbaik di dunia, anak-anak hanya bersekolah selama lima jam sehari. Mereka bukan hanya berada di kelas, melainkan juga bermain dan melakukan berbagai praktik lapangan. Belanda dan Jerman menerapkan model serupa.
Kedua, kesiapan sekolah juga tak seragam. Data Kementerian Pendidikan sendiri menunjukkan ada sedikitnya 15 ribu sekolah yang saat ini digunakan dua kali: pagi dan sore. Siswa terpaksa dibagi dua karena jumlah ruang kelas tak cukup untuk menampung mereka semua. Jumlah sekolah seperti ini sekitar 7 persen dari total 220 ribu sekolah di seluruh Indonesia. Pemerintah memang sudah memastikan hanya akan mengimplementasikan sistem baru ini pada 45 ribu sekolah lebih dulu. Namun ketiadaan penjelasan yang cukup tentang hal ini tetap menambah kekhawatiran.
Ketiga, kurang tegasnya keberpihakan pada siswa dalam perumusan kebijakan ini. Peraturan menteri tentang hari sekolah ini merupakan turunan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2017 tentang Guru. Dengan model pendidikan delapan jam sehari, jam kerja guru diharapkan naik sampai 37,5 jam per minggu seperti aparat pegawai negeri sipil lainnya. Pertimbangan administratif semacam ini amat tidak tepat. Idealnya, sistem sekolah dibuat untuk memastikan siswa bisa belajar dan berkembang dengan baik, bukan sekadar untuk menambah jam kerja para guru.
Menteri Muhadjir menepis kekhawatiran tersebut dengan menegaskan bahwa prioritas pemerintah adalah membangun karakter siswa yang religius, suka bergotong-royong, berintegritas, jujur, dan toleran. Karena itu tujuan pemerintah, semestinya kurikulum dan metode pendidikan siswalah yang perlu dibenahi, bukan jam sekolah. Kualitas guru juga mendesak untuk ditingkatkan.
Sesungguhnya lebih baik bila pemerintah mempercayakan implementasi sistem pendidikan kita kepada pemerintah daerah, para guru, dan komite sekolah yang mewakili orang tua murid. Merekalah yang lebih tahu kondisi wilayahnya, kesiapan siswa, dan cara terbaik mendidik anak-anak. Hanya dengan begitu, pendidikan bisa membebaskan, bukannya membelenggu tunas-tunas bangsa itu.