Putusan Mahkamah Konstitusi yang mencabut kewenangan Menteri Dalam Negeri membatalkan peraturan daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 251 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sudah tepat. Perda yang merupakan produk hukum dari pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat seharusnya hanya boleh dibatalkan melalui uji materi di Mahkamah Agung.
Karena itu, putusan MK tak perlu dipermasalahkan. Pemerintah kini sebaiknya berfokus pada potensi kerumitan yang bakal muncul setelah pencabutan kewenangan Mendagri. Seperti yang disampaikan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, pemerintah telah membatalkan lebih dari 3.000 perda bermasalah, tapi masih ada ribuan yang belum sempat dibatalkan. Kebanyakan menyangkut pungutan yang menghambat investasi dan kebijakan intoleran.
Pemerintah pusat mesti segera menyikapi hal ini. Pernyataan Presiden Joko Widodo bahwa pemerintah menerima putusan MK sudah tepat. Tapi tidak boleh berhenti di situ. Pemerintah mesti memperbaiki fungsi konsultasi dalam pembuatan perda, sehingga sejak awal bisa mencegah munculnya perda yang bertentangan dengan aturan di atasnya.
UU Pemerintahan Daerah sudah memberikan kewenangan besar kepada pemerintah pusat dan gubernur sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat untuk "ikut campur" dalam pembuatan perda. Pasal 142 UU ayat 6 menegaskan bahwa rancangan perda yang telah disetujui oleh DRPD dan pemerintah daerah perlu mendapatkan nomor register sebelum diundang-undangkan. Perda tingkat I (provinsi) harus mendapatkan nomor register dari Menteri Dalam Negeri, sedangkan perda tingkat II (kabupaten/kota) membutuhkan nomor register dari gubernur. Pasal 243 ayat 1 menegaskan, rancangan perda yang belum mendapatkan nomor register tidak bisa diundang-undangkan.
Dengan melakukan konsultasi secara serius, pemerintah sebenarnya tidak membutuhkan wewenang executive review, yang telah dicabut oleh MK.
Adapun perihal ribuan perda bermasalah yang belum dicabut, kita kembalikan kewenangan pencabutan itu ke MA, yang berdasarkan Pasal 24A ayat (1) UU 1945 diberi wewenang untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Kita berharap MA memberikan perhatian khusus terhadap penanganan perda-perda bermasalah. Mahkamah jika perlu membentuk satuan tugas khusus untuk melakukan uji materi tersebut. Kementerian Dalam Negeri sebaiknya juga membentuk satuan khusus guna mempersiapkan permohonan uji materi untuk diajukan ke MA.
Kita berharap persoalan perda bermasalah segera dapat diatasi dengan baik. Apalagi kebanyakan perda tersebut menyangkut pungutan yang mengganggu investasi dan kebijakan yang intoleran. Jika dibiarkan, yang rugi tentu daerah itu sendiri. Intoleransi akan meluas, investasi terganggu, dan "raja-raja kecil" daerah akan muncul, menimbulkan problem baru dalam pemerintahan.