Mahkamah Agung mesti transparan dalam merekrut hakim tingkat pertama. Calon hakim yang direkrut harus berkualitas karena nantinya dia akan menjadi "wakil Tuhan" dalam menegakkan keadilan. Mahkamah seyogianya melibatkan lembaga publik tepercaya, salah satunya Komisi Yudisial, untuk memilih calon hakim. Perekrutan yang semata-mata hanya dilakukan oleh Mahkamah Agung rentan menimbulkan penyelewengan.
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi telah menyetujui perekrutan 1.684 hakim tingkat pertama melalui jalur calon pegawai negeri sipil. Rekrutmen akan berlangsung pada pertengahan Juli mendatang. Mereka akan menggantikan hakim yang pensiun, meninggal, atau diberhentikan. Kursi lowong hakim itu tersebar di peradilan umum, tata usaha negara, dan peradilan agama.
Mahkamah Agung mesti transparan ihwal jumlah hakim baru yang dibutuhkan. Ini karena, berdasarkan hasil riset Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) pada 2010, jumlah hakim justru melebihi kebutuhan. Kala itu, jumlah hakim di pengadilan negeri di seluruh Indonesia mencapai 1.563 orang.
Karena jumlah rata-rata kasus yang ditangani sekitar 145.566 per tahun, hanya dibutuhkan 950 hakim, dengan beban standar kinerja hakim pengadilan negeri 163,72 perkara per tahun. Masalahnya, jumlah hakim terasa kurang karena penyebaran mereka tak merata.
Sejak Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengamanatkan perekrutan hakim harus melibatkan Komisi Yudisial, Mahkamah Agung tidak pernah merekrut hakim baru. Belakangan, dalam putusan uji materi terhadap undang-undang itu pada 7 Oktober 2015, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Komisi Yudisial dari proses perekrutan hakim tingkat pertama. Putusan inilah yang digunakan Mahkamah Agung sebagai dasar hukum Peraturan MA Nomor 2 Tahun 2017 soal perekrutan hakim tingkat pertama yang tidak melibatkan Komisi Yudisial.
Sesungguhnya peran Komisi Yudisial dalam perekrutan masih dibutuhkan. Konsep pembagian peran (shared responsibility) perlu diterapkan dalam pengelolaan manajemen hakim, termasuk dalam perekrutan hakim. Ini demi meningkatkan integritas sang penegak keadilan. Lagi pula, pembagian peran dan tanggung jawab kedua lembaga tersebut dalam perekrutan hakim tidak bertentangan dengan prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka sebagaimana amanat Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
Mahkamah Agung tak perlu alergi terhadap kehadiran Komisi Yudisial dalam proses seleksi calon hakim. Komisi Yudisial adalah lembaga yang berwenang menjaga dan menegakkan kehormatan, martabat, serta perilaku para pengadil itu. Komisi Yudisial tetap diperlukan dalam proses seleksi karena pengelolaan manajemen hakim meliputi proses seleksi, pembinaan, hingga purnatugas.
Mengikutkan Komisi Yudisial dalam proses seleksi hakim bukanlah intervensi. Justru ini demi memperkuat independensi hakim untuk menghasilkan peradilan yang ideal.