Romo Imam sangat mengagumi Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan yang berhasil dipulangkan oleh Presiden Joko Widodo. Sri disebutnya "dewa penyelamat anggaran" dan berkali-kali dipuji. "Saking kerasnya bekerja, ada menteri yang tugasnya menjadi ringan. Misalnya, Menteri BUMN. Menteri ini tak bisa hadir di DPR dan Sri Mulyani yang mewakili. Hebat, bisa-bisa menteri lain jadi iri," kata Romo.
Saya menebak-nebak ke mana arah obrolan ini. Saya biarkan Romo bicara. "Wakil rakyat banyak artisnya. Wajar tak mengerti kedudukan seorang menteri yang hanya pembantu presiden. Yang memilih dan mengganti menteri kan presiden, kok wakil rakyat memboikot Menteri BUMN dan meminta menteri itu diganti. Presiden mau didikte, tersinggung, dong. Jangan-jangan menteri yang tadinya mau diganti malah dipertahankan."
Saya mulai bisa menebak, tapi Romo melanjutkan. "Apa ada hubungan antara wakil rakyat yang artis dan menteri yang diboikot?" tanya Romo. Saya menjawab, "Memang di komisi yang membidangi BUMN itu ada wakil rakyat mantan pemain sinetron? Tapi itu tak ada korelasinya."
"Setuju," kata Romo. "Tidak semua artis itu bodoh dalam soal politik dan ketatanegaraan. Juga tak semua yang bukan artis otomatis pintar. Yang sudah jelas, mutu wakil rakyat kita memang banyak di bawah standar, apalagi di tingkat provinsi dan kabupaten. Sistem pemilu kita membuat siapa pun yang punya uang untuk membeli suara rakyat, bisa menjadi wakil rakyat."
Saya kaget. "Romo jangan menuduh, dong," kata saya. Romo langsung menyambar, "Saya katakan banyak, memang bukan semuanya. Ada yang modal ilmunya bagus, meskipun tetap pakai uang karena memang perlu ongkos. Tetapi di tingkat kabupaten, ada preman pasar yang tiba-tiba jadi wakil rakyat. Mereka memang terkenal di lingkungannya, lalu membayar ke partai untuk jadi calon, dan terpilih karena menyebarkan uang ke desa-desa. Bagaimana mungkin wakil rakyat seperti ini bisa menghasilkan peraturan daerah, wong membahas anggaran saja tak mengerti? Untuk di pusat, kelasnya tentu lebih tinggi, lebih terkenal lagi layak artis atau memang artis yang sebenarnya dan modalnya lebih gede. Hasilnya, wakil rakyat seperti apa yang kita miliki? Wakil rakyat yang tak tahu hak prerogatif, wakil rakyat yang tak tahu membuat undang-undang, bahkan wakil rakyat yang tak tahu bagaimana berdoa di forum yang formal. Menyedihkan...."
Romo lalu diam seperti orang capek. Saya menghiburnya. "Romo, pemerintah sudah mulai sadar kekurangan ini dan berusaha merevisi undang-undang penyelenggara pemilu. Salah satu anggota tim pakar pemerintah yang menyusun revisi undang-undang itu, Dani Syarifudin Nawawi, mengusulkan memperketat syarat untuk calon anggota legislatif. Nantinya, calon wakil rakyat harus paling tidak setahun menjadi anggota partai aktif. Tak bisa ujuk-ujuk dan tak bisa pula jadi kutu loncat, gagal membayar mahar untuk partai ini, lalu loncat ke partai itu."
"Apa itu cukup?" Romo memotong. "Harus ada sertifikat bahwa calon itu sudah lulus kursus ketatanegaraan dan tahu bagaimana cara bersidang, termasuk etika dan sopan-santunnya. Partai harus selektif dan tak hanya mengejar jumlah kursi. Ini sulit, tapi kita tak harus lelah untuk berbuat yang lebih baik lagi bagi bangsa dan negara ini."
Saya hampir tertawa. Romo bak pejabat negara yang senang berkata "demi bangsa dan negara" betapa pun kata itu terasa klise. Tapi saya suka Romo memberikan jalan keluar, karena banyak orang mencela mutu anggota wakil rakyat tapi tidak memberikan solusi.