Putu Setia
@mpujayaprema
Anggaran kementerian banyak yang dipangkas. Pemerintah juga perlu duit untuk membangun infrastrukturjanji yang kerap diucapkan Presiden Joko Widodo. Uang yang diharapkan mengalir dari luar negeri setelah ada pengampunan pajak jauh dari target. Pemerintah lagi pusing menyelamatkan anggaran.
Anehnya, Presiden malah berjanji akan menaikkan gaji dan tunjangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Peraturan pemerintah untuk itu sudah disetujui Jokowi, meski keluarnya dijanjikan pada akhir tahun. Kabar itulah yang membuat Romo Imam terbahak-bahak. "Apa hebatnya kerja DPRD? Bikin peraturan daerah saja banyak yang dianulir Menteri Dalam Negeri," kata Romo.
Romo tadinya enggan membicarakan anggota Dewan di daerah yang mengaku bergaji kecil. "Gaji pokok memang kecil, tapi tunjangannya banyak. Belum lagi saweran," katanya. "Kalau DPR, gaji pokoknya Rp 15 juta, tapi ada tunjangan listrik, aspirasi, kehormatan, komunikasi, pengawasan, entah apa lagi. Jumlahnya sampai Rp 60 juta lebih. Lalu ada tambahan dari perjalanan studi banding, uang reses, uang sidang membahas rancangan undang-undang, belum tunjangan jabatan. Waduh...."
"Tunjangan anggota DPRD kan tak sebanyak itu, Romo?" tanya saya. Romo kembali nyerocos: "Banyak juga. Gaji pokoknya kecil, ya, Rp 5 juta. Jenis tunjangan hampir sama dengan DPR, nilainya saja beda. Tapi ada tunjangan rumah dan fasilitas yang aneh-aneh, tergantung dana di daerah. Ada yang mendapat jatah mobil seharga ratusan juta rupiah. Ada jatah handphone seharga Rp 18 juta, seperti di Bone, Sulawesi Selatan. Tunjangan komunikasi di berbagai daerah hampir sama hingga Rp 4 juta. Padahal ada anggota DPRD yang hanya memakai pulsa paket hemat Rp 40 ribuan. Ada lagi yang unik, disebut dana hibah."
Perihal dana hibah itu, Romo Imam bicara panjang. Intinya begini. Setiap anggota DPRD membawa proposal dari konstituen untuk pembangunan di daerah pemilihannya. Bermacam ragamnya, dari pembangunan jalan, irigasi, tempat ibadah, hingga kesenian. Proposal itu diajukan ke bupati oleh DPRD kabupaten dan ke gubernur oleh DPRD provinsi. Biasanya proposal itu pasti disetujui. Maklum, legislatif dan eksekutif di daerah sangat akrab. Tapi kadang kala ada saja yang tidak disetujui atau persetujuan ditunda dengan alasan obyek yang disasar tidak merupakan prioritas pembangunan pemerintah daerah. Atau justru tumpang-tindih dengan perencanaan yang sudah disusun pemerintah daerah. Apalagi pemerintah daerah punya dana sejenis yang disebut bansos alias bantuan sosial. Nah, kalau dana hibah ini ternyata tidak cair, akan ada ketegangan dan itu tecermin dalam sidang DPRD. Bisa saja wakil rakyat di daerah itu ngambek, lalu menghambat program pemerintah daerah.
Dana hibah itu kalau cair uangnya masuk kantong anggota DPRD karena wakil rakyat ini yang menyerahkan kepada konstituennya. Apakah dana diterima utuh sesuai dengan proposal oleh rakyat, itu sudah pasti tidak. Tak ada pertanggungjawaban ke pemerintah daerah seperti penggunaan bansos, namanya saja dana hibah. "Ini yang harus ditertibkan. Ini sumber korupsi," kata Romo Imam.
"Hampir sama dengan korupsi yang dilakukan oleh anggota DPR yang menjadi makelar proyek sejak membahas anggaran," kata Romo melanjutkan. "Bedanya, di DPR itu namanya komisi dari pelaksana proyek dan itu tergolong korupsi. Di DPRD, dana hibah yang disunat sebelum sampai ke masyarakat itu tak pernah diusut. Sudah begitu, minta gaji naik juga?"
"Minta gaji naik supaya tidak korupsi, alasannya begitu," kata saya. Romo terbahak-bahak.