Putu Setia @mpujayaprema
Negeri ini menghadirkan pertandingan yang mengasyikkan hari-hari ini. Ada Pekan Olahraga Nasional (PON) di Jawa Barat, adu tanding para atlet untuk menjadi yang paling perkasa. Ada perhelatan pemilihan kepala daerah, adu tanding untuk menjadi bupati, wali kota, atau gubernur di 101 daerah pemilihan. Meski baru tahap mendaftar, keriuhan tak kalah dibanding perhelatan PON. Politik dan olahraga sama saja, adu strategi dan kelicikan.
Apa yang dikejar dari pertandingan ini? Dari PON, diharapkan muncul atlet berprestasi lewat adu tanding antardaerah. Ini ajang seleksi siapa yang terbaik di Nusantara, kelak akan diadu tanding ke tingkat dunia. Di situlah nama baik bangsa dipertaruhkan.
Dari pemilihan kepala daerah, diharapkan muncul pemimpin yang mampu membuat rakyat sejahtera. Rinciannya bisa banyak, misalnya tersedia lapangan kerja untuk rakyatnya, ada rasa aman tinggal di rumah tanpa ancaman penggusuran, anak-anak bisa sekolah dengan gratis, juga pelayanan kesehatan bagus dengan obat murah tapi tidak palsu. Untuk kota besar seperti Jakarta yang warganya lebih manja, ya, jalanan lancar, air tak selalu menggenangi rumah dan jalanan di kala hujan yang dulu disebut banjir.
Sayang, tujuan utama itu kalah oleh tujuan jangka pendek. Target yang diraih terlalu kecil karena ego yang besar. Harus menjadi juara umum PON, lalu sportivitas dinomorduakan. Ada pembajakan atlet, tiba-tiba atlet yang berprestasi pindah ke daerah lain. Wasit yang tak netral. Buntutnya terjadi kerusuhan yang melibatkan penonton.
Calon bupati, wali kota, gubernur juga saling sikut jauh sebelum pertandingan yang sebenarnya di tempat pemungutan suara. Hampir di mana-mana ada drama, tak cuma di Jakarta. Adu strategi dan kelicikan dengan mengabaikan etika. Misalnya, Ahok sebagai inkumben yang ingin bertahan. Dia tak berpartai, dulu sih suka loncat sana loncat sini. Ahok memang dekat dengan bos partai besar, tapi dia ragu apa partai itu mau mengusungnya atau tidak. Ahok minta jaminan jauh hari, tapi "mekanisme partai" tak mengizinkan. Ahok pun menempuh jalur independen sambil menyindir kejelekan partai: sarang malinglah, minta maharlah. Pokoknya anti-partai.
Semangat anti-partai ini disambut satu juta dukungan pemilik kartu tanda penduduk. Dengan modal besar ini, tiba-tiba sejumlah partai menawari Ahok untuk "pindah kendaraan" dari independen ke partai. Ahok langsung tertarik karena tak perlu lagi verifikasi kartu tanda penduduk yang ribet. Bahkan partai besar teman Ahok itu pun ikut bergabung. Cerita Ahok pernah "melecehkan partai" segera dilupakan.
Yang menarik juga penantang Ahok. Mereka bukan kader partai yang punya suara di DPRD. Tapi mereka lihai, blusukan ke sana-kemari di kawasan yang menjadi korban kebijakan Ahok. Foto-foto diunggah ke media sosial dengan opini "saya berpihak ke rakyat kecil lo." Nama mereka berhasil masuk ke lembaga survei mendampingi nama Ahok, biarpun suara kecil tak apa-apa. Dengan modal itu, mereka menawarkan diri ke partai. Sempat diberi harapan meski akhirnya dilupakan pula. Kasihan.
Puncak keprihatinan kita akhirnya datang dengan dicalonkannya Agus Harimurti, putra mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, "kader" tentara nasional yang cemerlang untuk menantang Ahok. Kalau ujungnya seperti ini, lalu apa fungsi partai kalau tidak menciptakan kader-kader pemimpin bangsa? Sungguh adu tanding saat ini, apakah itu atlet ataupun calon gubernur, targetnya sangat berjangka pendek. Bagaimana negeri bisa maju kalau pemimpinnya asal tunjuk?