Putu Setia
@mpujayaprema
"TELAH hilang sebuah dokumen penting dan siapa yang menemukannya harap mengembalikan". Jika pengumuman tersebut tertempel di kantor kelurahan, itu hal yang biasa. Tapi, kalau dokumen tadi adalah hasil investigasi tim pencari fakta (TPF) kematian Munir Said Thalib, itu hal yang luar biasa. Luar biasa aneh dan luar biasa ajaib. Juga luar biasa ceroboh.
Ketika Komisi Informasi Pusat (KIP) memutuskan agar hasil investigasi TPF kasus Munir diumumkan, memenuhi tuntutan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), ternyata dokumen itu raib. Sekretariat Negara tak merasa menyimpannya. Sekretariat Kabinet pun tak tahu. Sejumlah orang kaget.
Munir meninggal akibat racun dalam penerbangan ke Belanda pada 7 September 2004. Pada 23 Desember 2004, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membentuk tim pencari fakta. Tim ini menyerahkan hasilnya pada 24 Juni 2005 langsung kepada Presiden Yudhoyono, didampingi Menteri Sekretaris Negara Yusril Izha Mahendra dan Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi. Ke mana dokumen itu setelah diterima presiden? Logika orang waras tentu dari presiden diberikan ke ajudannya. Presiden tak boleh pegang-pegang barang terlalu lama. Apakah ajudan presiden menggeletakkan begitu saja dokumen penting itu entah di mana, lalu lupa mengambilnya? Tak masuk akal. Pasti ada prosedur baku bagaimana sebuah dokumen negara disimpan.
Dokumen penting yang hilang bukan hanya di era Presiden Yudhoyono. Di era Soeharto juga ada yang hilang, justru ini teramat penting karena menyangkut sejarah bangsa, yakni Surat Perintah 11 Maret yang diberikan Presiden Sukarno kepada Jenderal Soeharto. Surat yang asli hilang, sehingga sejarah tak bisa dengan terang menyebutkan apa sesungguhnya isi surat perintah yang biasa disingkat Supersemar itu.
Di gedung Arsip Nasional saat ini tersimpan tiga versi Supersemar yang ketiganya tidak otentik. Satu dari Sekretariat Negara, satu dari Pusat Penerangan TNI AD, dan satu lagi diserahkan oleh seorang ulama dari Jawa Timur. Bagaimana bisa menyusun sejarah perjalanan bangsa yang benar kalau tak ditemukan Supersemar yang asli? Apa benar Sukarno menyerahkan kekuasaan kepada Soeharto atau hanya sekadar meminta Soeharto mengamankan situasi? Orang hanya bisa menebak tergantung "ke mana angin bertiup".
Hilangnya Supersemar yang asli juga menimbulkan tebak-tebakan siapa yang berperan menghilangkan dan apa motifnya. Sekarang orang cenderung menebak bahwa itu pastilah ulah Soeharto sendiri untuk legalitas kepemimpinannya yang akhirnya berhasil "merebut kekuasaan". Tapi jangan katakan hal itu pada saat Soeharto berkuasa di era Orde Baru, Anda bisa masuk bui. Pertanyaannya, apa tebakan Soeharto memelintir Supersemar pasti benar? Tidak ada jaminan karena tak ada bukti lantaran Supersemar yang asli hilang.
Lalu, apakah ada motif tertentu dari Presiden Yudhoyono untuk menghilangkan dokumen TPF Munir? Siapa tahu ada yang "menebak" SBY ingin menyelamatkan koleganya atau mungkin pula menyelamatkan sebuah institusi. Memang betul mengumumkan hasil TPF Munir ke publik perlu. Tapi rasanya itu tidak sulit. Pasti bekas anggota tim masih menyimpan salinannya, meski akan ditanyakan legalitasnya kalau prosesnya menjadi kasus hukum yang baru. Namun, yang juga sangat penting, siapa yang bertanggung jawab atas hilangnya dokumen ini dan melacak apa ada motif tertentu di balik hilangnya? SBY dan orang-orang dekatnya ketika di Istana wajib ditanya. Tentu mustahil kalau administrasi Istana lebih buruk daripada administrasi kantor lurah.