Jessica Kumala Wongso dihukum 20 tahun penjara oleh majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Meski tak ada fakta hukum formal bahwa dari tangannya racun sianida itu dituangkan ke gelas kopi, hakim berhasil merangkai berbagai tingkah laku Jessica jauh sebelum tragedi itu terjadi. Kesimpulannya, Wayan Mirna tewas setelah minum kopi di restoran Olivier dan yang menuangkan sianida ke gelas kopi itu diyakini oleh hakim dilakukan Jessica sendiri. Tak ada orang lain; Jessica pembunuh tunggal.
Sidang pun gemuruh. Puluhan orang berbaju "Justice for Mirna" bahkan bersorak ria. Untuk sementara sinetron peradilan yang konon menarik minat banyak orang inidan karena itu stasiun televisi ramai-ramai menyiarkan secara langsungberakhir. Meski Jessica dan penasihat hukumnya akan banding, tak akan ada keriuhan dalam persidangan di pengadilan tinggi. Paling hanya debat pernyataan.
Inilah sidang peradilan terheboh di negeri ini. Lebih heboh dari sidang Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) pasca-tragedi G30S yang digelar pada 1968. Di saat itu tak ada televisi selain TVRI, apalagi media sosial. Juga tahun itu tak ada saksi yang berani berbicara dengan bebas. Dalam sidang Jessica, ada perang antarsaksi ahli yang begitu dahsyat. Saksi ahli jaksa memberatkan Jessica dan saksi ahli pembela meringankannya, seolah keahlian bisa diarahkan ke mana maunya.
Sidang Jessica betul-betul menerapkan prinsip "keterbukaan mutlak". Sidang memang terbuka untuk umum jika bukan kasus cabul, juga terdakwa bukan anak-anak. Tapi, sesuai dengan ketentuan hukum yang masih berlaku, saksi yang belum diperiksa tak boleh duduk si ruang sidang. Hakim punya daftar saksi yang akan didengar. Tujuannya agar saksi tidak saling mencocokkan atau saksi yang belakangan sudah menyiapkan diri untuk mematahkan saksi terdahulu. Kalau televisi menyiarkan langsung, apa bedanya saksi ada di ruang sidang dan tiduran di rumah? Sungguh hakim amat modern, selain ingin numpang populer.
Terdakwa dan keluarga korban juga orang-orang modern dan banyak uang. Keluarga korban, jaksa, dan pengacara setiap saat bisa diwawancarai televisi dan memberikan opininya. Apa yang disebut trial by the press mungkin sudah kedaluwarsa.
Bagaimana kalau korban pembunuhan yang "rada gelap" ini terjadi di daerah, apakah sehebat itu perhatian publik dan media massa? Mungkin tidak. Yuyun, yang diperkosa dan dibunuh belasan lelaki di Bengkulu yang jauh itu, tak jelas juntrungan beritanya, tak jelas berapa saksi ahli yang hadir, tiba-tiba ada yang dihukum mati. Jadi, yang disebut TKP (tempat kejadian perkara) punya pengaruh atas ingar-bingarnya sidang Jessica.
Keluarga Mirna puas dan bisa lebih tenang karena pembunuh Mirna sudah jelas dan dihukum lewat peradilan yang modern. Kalau di daerah terpencil ada "kearifan lokal" ihwal bagaimana keluarga korban pembunuhan mencari ketenangan siapa pelakunya. Di pedesaan Bali, misalnya, lewat balian (sejenis dukun) yang bisa memanggil roh korban untuk bercerita siapa pembunuhnya. Di Manggarai, Flores, ada cara unik. Keluarga korban datang ke makam, lalu menyemburkan daun sirih dan buah pinang, sambil memohon dengan bahasa Sierra Leone agar sang pembunuh ditunjukkan atas kebesaran Sang Mori Dedek (Tuhan Yang Maha Esa).
Semua ini dasarnya keyakinan. Bukankah hakim yang menghukum Jessica juga berdasarkan keyakinan setelah merangkai perilaku terdakwa? Jadi, apakah Jessica benar pembunuh atau tidak, masih ada pengadilan akhirat. Di situlah keadilan sejati. PUTU SETIA