Didik Novi Rahmanto
Mahasiswa Doktoral Departemen Kriminologi Universitas Indonesia
Akhir-akhir ini, ujaran-ujaran kebencian dan permusuhan semakin sering muncul. Laman-laman media sosial mulai penuh sesak dengan umbaran kebencian yang dibalut dengan semangat untuk mengkafirkan. Indonesia, seperti disebut dalam laporan PEW Research Center 2016, masuk daftar negara dengan predikat terburuk untuk urusan toleransi agama/keyakinan.
Memudarnya kemajemukan ini disebabkan oleh munculnya kelompok-kelompok identitas. Hal ini dapat disaksikan dari menjamurnya organisasi massa, baik yang berbasis kedaerahan maupun keagamaan. Kemunculan kelompok-kelompok identitas ini justru kerap membawa pengaruh yang kurang baik terhadap masyarakat (Tulus Santoso, 2010). Belakangan, mereka malah terlihat mulai sering melakukan provokasi, intimidasi, hingga perlakuan kasar terhadap kelompok minoritas.
Secara lebih spesifik, kelompok-kelompok itu, meminjam istilah Sidney Jones (2015), adalah "masyarakat madani intoleran" yang terbagi ke dalam tiga jenis, yakni kelompok main hakim sendiri, kelompok advokasi di tingkat lokal, dan kelompok transformatif yang hendak mengganti sistem demokrasi. Representasi untuk ketiga jenis kelompok tersebut adalah Front Pembela Islam, Gerakan Reformis Islam (Garis), dan Hizbut Tahrir Indonesia. Bagi Jones, ketiga kelompok ini memiliki ciri dan implikasi yang berbeda-beda sehingga perlu dihadapi dengan cara yang berbeda-beda pula.
Tapi mereka adalah "masyarakat madani intoleran". Betapa pun tidak enaknya, kelompok intoleran ini merupakan bagian dari kita semua. Kita harus berbagi ruang dengan mereka, meski kerap kali terjadi perbedaan atau bahkan bentrokan kepentingan.
Meski begitu, ide dan gerakan yang diusung oleh kelompok-kelompok intoleran ini sangat mengkhawatirkan. Bagi mereka, perbedaan adalah ladang untuk melakukan peperangan, bukan berkah Tuhan. Maka, tidak berlebihan untuk menyebut bahwa intoleransi merupakan pintu pembuka bagi ancaman yang jauh lebih besar, yakni kehancuran. Indonesia yang besar karena penghargaannya terhadap perbedaan kini harus berhadapan dengan tingginya sentimen golongan yang memaksakan keseragaman. Ini tentu tidak boleh dibiarkan.
Walaupun ada banyak konflik yang terjadi mengatasnamakan agama, nyatanya konflik-konflik tersebut tidak sepenuhnya berkaitan dengan agama. Fakta menunjukkan bahwa ketegangan yang terjadi di antara umat beragama justru berkaitan erat dengan faktor-faktor di luar agama itu sendiri (Bachtiar Efendi, 2001). Artinya, agama tidak pernah memberikan ruang, apalagi persetujuan, untuk pecahnya sebuah konflik.
Mengutip Jacob dan Potter (2000), penyebab utama pecahnya konflik adalah prasangka. Prasangka berpotensi menciptakan jarak di antara masyarakat, sehingga memicu munculnya hate crime, yang didefinisikan oleh The Anti-Defamination League sebagai tindak kejahatan yang dimotivasi oleh kebencian terhadap korban berdasarkan ras, agama, orientasi seksual, kelompok etnis, atau asal kebangsaan (Robinson, 2007). Kebencian yang lahir dari prasangka tidak bisa disebut sebagai bagian dari pelaksanaan perintah agama karena, sekali lagi, agama tidak memberikan tempat untuk permusuhan dan perpecahan.
Satu hal yang terlihat jelas dari merebaknya kebencian dan hate crime ini adalah meningkatnya intoleransi. Negara perlu lebih serius mengambil sikap terhadap tindakan-tindakan intoleran yang menodai negeri ini karena intoleransi bisa menjadi pemantik yang sangat ampuh untuk berbagai jenis kejahatan yang lebih besar bentuk dan efeknya, seperti terorisme.
Biro Penyelidikan Federal Amerika Serikat (FBI), misalnya, pada 2015 menyatakan bahwa kebencian dan intoleransi bisa menanamkan benih-benih terorisme. Atas dasar ini, FBI menempatkan hate crime di posisi kelima untuk jenis kejahatan yang paling berbahaya.
Bagaimana dengan Indonesia? Negeri ini perlu segera berbenah. Salah satu hal yang perlu segera diatasi adalah gelombang kebencian dalam balutan pengkafiran. Takfiri adalah ciri utama paham dan gerakan terorisme. Kelompok-kelompok teroris sekelas Al-Qaidah dan ISIS membangun paham terorismenya di atas semangat takfiri, saat pengkafiran dipandang sebagai legitimasi untuk membuat kerusakan dan penghancuran.
Khusus untuk terorisme, pemerintah juga sebaiknya segera mengambil tindakan pencegahan yang tepat. Mereka ada dan bahkan mulai mendekat. Kabar terbaru bahkan menyebut bahwa kelompok teroris paling kejam, Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), telah mulai membangun markas rahasia mereka di kawasan Filipina. Pemerintah harus berfokus melindungi negeri tumpah darah ini, yang dimulai dengan penanganan terhadap aksi-aksi intoleran di dalam negeri.
Masyarakat pun harus mulai mengutamakan persatuan dan perbaikan pola pikir, sehingga kita tidak lagi mudah mengumbar kebencian dengan menyebut yang lain, misalnya, sebagai kafir. Sudah seharusnya bangsa ini bergerak menuju pola kebangsaan yang baru, yakni kebangsaan yang persatuannya tidak lagi dilandasi oleh kesamaan sejarah, melainkan kesamaan dalam pandangan dan ide-ide untuk kemajuan.