Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Tren Bunga Turun

image-profil

image-gnews
Iklan

Tri Winarno
Peneliti senior Bank Indonesia

Sejak resesi besar pada 2007-2009, bank sentral utama dunia masih menahan bunga pada tingkat yang sangat rendah, mendekati nol persen. Bahkan, di Amerika Serikat, setelah The Fed menaikkan beberapa kali tingkat bunganya, tingkat bunga jangka pendek tetap di bawah 1 persen serta tingkat bunga jangka panjang dan obligasi pemerintah juga sama rendahnya. Sampai sekarang bank sentral utama dunia masih menopang pasar uang dunia dengan membeli obligasi dalam jumlah yang masih masif dan tetap menahannya sebagai aset utama sehingga tingkat bunga masih bertahan sangat rendah.

Mengapa ekonomi global perlu dibantu dengan kebijakan moneter yang sangat longgar dan mengapa begitu lama? Kalau jawabannya akibat dari resesi besar yang terjadi pada rentang waktu 2007-2009, argumen itu sangat menyederhanakan penyebab utamanya.

Tingkat bunga jangka panjang riil tidak mencapai titik terendah dalam rentang waktu 2007-2009. Kalau data imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor sepuluh tahun dibentangkan dalam rentang waktu 35 tahun, di situ terlihat tren menurun, termasuk selama masa resesi besar tersebut. Imbal hasil obligasi pemerintah AS itu adalah 3,5 persen pada 2009, yaitu pada akhir resesi. Sekarang yield tersebut hanya berkisar 2 persen.

Hal yang sama terjadi pada tingkat bunga riil. Selama resesi besar, imbal hasil sekuritas riil AS tenor sepuluh tahun (TIPS) mencapai hampir 3 persen pada titik tertentu dan berada di sekitar 2 persen pada pengujung resesi. Sejak itu, imbal hasil TIPS terus menurun dan tetap rendah, mencapai 0,5 persen pada Mei 2017.

Fakta bahwa masyarakat mau menyimpan dananya selama 10 tahun (dalam jangka panjang) dengan tingkat bunga maupun imbal hasil yang begitu rendah menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan pesimistis terhadap perkembangan perekonomian global jangka panjang. Ini merupakan pembenaran nyata terhadap pandangan adanya secular stagnation, kondisi melemahnya ekonomi global yang berkepanjangan. Istilah tersebut dipopulerkan Menteri Keuangan AS Lawrence Summers dalam pidatonya di IMF pada November 2013. Kemudian, ekonom Paul Krugman menulis di New York Times tentang tema tersebut, sehingga istilah itu menjadi populer.

Walaupun istilah secular stagnation menjadi terkenal lima tahun setelah krisis keuangan global 2008, istilah itu sebenarnya telah lama muncul dalam khazanah ekonomi publik. Istilah tersebut muncul pertama kali tatkala ekonom Harvard University, Alvin Hansen, menyampaikan pidato di hadapan Asosiasi Ekonomi Amerika pada Desember 1938 dan di dalam bukunya yang terbit pada tahun yang sama.

Hansen menjelaskan esensi dari secular stagnation sebagai pemulihan ekonomi sakit yang meninggalkan masalah utama yang sulit dipecahkan, yaitu pengangguran. Tatkala Hansen menyampaikan pidatonya, dia berharap stagnasi ekonomi AS akan segera mereda. Namun depresi yang berawal pada runtuhnya pasar modal AS pada 1929 telah berlangsung selama 10 tahun tatkala Hansen berpidato dan Perang Dunia II belum dimulai. Hanya setelah Perang Dunia II dimulai pada 1939, stagnasi benar-benar berakhir.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Secular stagnation yang muncul pada era depresi besar tahun 1930 itu ditengarai salah satunya disebabkan rendahnya tingkat kelahiran di AS, ketika tingkat kelahiran mengalami penurunan yang dramatis sejak 1920. Menurut Hansen, jumlah kelahiran yang semakin sedikit memicu stagnasi ekonomi karena masyarakat tidak perlu membelanjakan uangnya lebih banyak untuk keperluan anak-anak, serta tidak perlu meningkatkan investasi untuk masa depan.

Menurut statistik Bank Dunia, rata-rata tingkat kelahiran global telah mengalami penurunan sejak krisis keuangan 2008. Namun rendahnya tingkat kelahiran tidak ada kaitannya dengan krisis keuangan tersebut, mengingat penurunan kelahiran telah terjadi saat kinerja ekonomi masih menunjukkan prestasi.

Penjelasan lain bahwa krisis 2008 masih tertanam di benak pelaku ekonomi adalah adanya kekhawatiran mendalam bahwa krisis yang sebenarnya jarang terjadi tersebut dapat terulang kembali. Dengan demikian, walaupun indikator kepercayaan konsumen sudah tinggi dan volatilitas pasar keuangan relatif rendah, ekonomi masih belum mampu pulih ke tingkat sebelum krisis.

Hal ini didukung oleh hasil penelitian di New York University oleh Julian Kozlowski dkk yang menyatakan bahwa masyarakat mengalami ketakutan akan terjadinya krisis lagi karena tatkala krisis benar-benar terjadi dampaknya sangat menyakitkan. Akibatnya, masyarakat cenderung berhati-hati dalam berbelanja, baik untuk konsumsi maupun untuk investasi, sehingga terjadilah penyakit ekonomi secular stagnation.

Teori lain yang mampu menjelaskan fenomena secular stagnation adalah meningkatnya kekhawatiran akan kemajuan teknologi yang pesat. Misalnya, kecemasan bahwa pekerjaannya akan digantikan oleh robot. Hal ini membuat masyarakat enggan membelanjakan uangnya untuk konsumsi dan investasi, sehingga mereka pun menabung, baik di bank maupun di pasar modal dalam obligasi, misalnya.

Dengan demikian, memang dibutuhkan stimulus dalam bentuk tingkat bunga yang semakin rendah agar masyarakat bersedia membelanjakan uangnya sehingga terjadi peningkatan permintaan.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Bank Sentral China Pangkas Suku Bunga, Rupiah Menguat Tipis Sore Ini

3 hari lalu

Ilustrasi mata uang Rupiah. Brent Lewin/Bloomberg via Getty Images
Bank Sentral China Pangkas Suku Bunga, Rupiah Menguat Tipis Sore Ini

Pada perdagangan sore ini, mata uang rupiah ditutup menguat tipis kel level 6 poin menjadi Rp16.214 per dolar Amerika Serikat.


Memasuki Kuartal IV, GAPMMI Minta BI Pertahankan Suku Bunga 6,25 Persen

3 hari lalu

Ketua Gabungan Produsen Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI), Adhi S Lukman, saat ditemui di Artotel Senayan, Jakarta, Senin, 22 Juli 2024. TEMPO/Nandito Putra
Memasuki Kuartal IV, GAPMMI Minta BI Pertahankan Suku Bunga 6,25 Persen

GAPMMI meminta BI tetap mempertahankan suku bunga di angka 6,25 persen


IHSG Terjaga Pekan Ini, Berikut Tiga Saham Rekomendasi Indo Premier

3 hari lalu

Ilustrasi bursa efek dan kurs Rupiah. Getty Images
IHSG Terjaga Pekan Ini, Berikut Tiga Saham Rekomendasi Indo Premier

PT Indo Premier Sekuritas (IPOT) menyempaikan ada tiga sentimen yang memengaruhi IHSG pekan ini. Berikut tiga rekomendasi saham pada perdagangan hingga Jumat mendatang


Bank Indonesia Pertahankan Suku Bunga 6,25 Persen Bulan Ini

9 hari lalu

Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo. TEMPO/Tony Hartawan
Bank Indonesia Pertahankan Suku Bunga 6,25 Persen Bulan Ini

Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) pada pada 16-17 Juli 2024 memutuskan untuk mempertahankan suku bunga sebesar 6,25 persen.


Harga Emas Dunia Diprediksi Melonjak Tembus hingga US$ 2.500 Bulan Ini, Apa Saja Pemicunya?

9 hari lalu

Emas batangan 50g siap dicetak di foto di pabrik penyulingan dan pabrikan batangan Argor-Heraeus di Mendrisio, Swiss, 13 Juli 2022. REUTERS/Denis Balibouse
Harga Emas Dunia Diprediksi Melonjak Tembus hingga US$ 2.500 Bulan Ini, Apa Saja Pemicunya?

Analis Ibrahim Assuaibi memproyeksikan harga emas dunia bulan ini tembus US$ 2.500 per troy ounce. Apa saja pemicunya?


Sehari Menjelang Pengumuman BI Rate, Rupiah Melemah Tipis Menjadi Rp 16.179 per Dolar AS

10 hari lalu

Pegawai tengah menghitung uang pecahan 100 dolar Amerika di Penukaran Valuta Asing PT Ayu Masagung, Jakarta, Kamis 20 Juni 2024. Rupiah spot berbalik melemah pada perdagangan Kamis (20/6) pagi. Pukul 09.10 WIB, rupiah spot ada di level Rp 16.391 per dolar Amerika Serikat (AS), melemah 0,16% dari sehari sebelumnya yang ada di Rp 16.365 per dolar AS. TEMPO/Tony Hartawan
Sehari Menjelang Pengumuman BI Rate, Rupiah Melemah Tipis Menjadi Rp 16.179 per Dolar AS

Nilai tukar rupiah hari ini ditutup melemah 9 poin ke level Rp16.179 per dolar AS.


Pengamat Prediksi BI akan Pertahankan Suku Bunga 6,25 Persen, Kenapa?

10 hari lalu

Ilustrasi atau Logo Bank Indonesia. REUTERS/Iqro Rinaldi/File Photo
Pengamat Prediksi BI akan Pertahankan Suku Bunga 6,25 Persen, Kenapa?

Pengamat Perbankan dan Praktisi Sistem Pembayaran, Arianto Muditomo memproyeksikan BI akan mempertahankan suku bunga acuan di level 6,25 persen.


Analis Perkirakan Rupiah Hari Ini bakal Menguat hingga Rp 16.140, Defisit APBN Jadi Tantangan

14 hari lalu

Warga mengisi BBM jenis solar di SPBU Kampung Nelayan Cilincing, Jakarta, Rabu, 14 September 2022. PT Pertamina akan membuat 250 titik SPBU khusus nelayan di Indonesia agar distribusi subsidi BBM tepat sasaran. ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
Analis Perkirakan Rupiah Hari Ini bakal Menguat hingga Rp 16.140, Defisit APBN Jadi Tantangan

Analis mata uang Ibrahim Assuaibi memperkirakan nilai tukar rupiah hari ini masih akan melanjutkan tren penguatan dalam rentang Rp 16.140-Rp 16.230 per dolar AS.


Analis Prediksi Rupiah Menguat di Akhir 2024, Berada di Rentang Rp15.500-Rp16.000

17 hari lalu

Ilustrasi rupiah. Pexels/Ahsanjaya
Analis Prediksi Rupiah Menguat di Akhir 2024, Berada di Rentang Rp15.500-Rp16.000

Faktor ekonomi global membaik mempengaruhi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS di akhir tahun 2024.


Sri Mulyani Perkirakan Nilai Tukar Rupiah Rp 16.000-16.200 di Semester II 2024

18 hari lalu

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengikuti rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 12 Desember 2022. Sri Mulyani menjelaskan sejauh ini prevalensi perokok laki-laki dewasa mencapai 71,3 persen, sehingga membuat Indonesia menduduki peringkat pertama tertinggi di dunia. TEMPO/M Taufan Rengganis
Sri Mulyani Perkirakan Nilai Tukar Rupiah Rp 16.000-16.200 di Semester II 2024

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memproyeksikan nilai tukar rupiah pada semester II 2024 pada rentang Rp 16.000 hingga Rp 16.200 per dolar AS.